Sabtu, 14 Juni 2008

tentang Taufik Ismail

POSISI TAUFIK ISMAIL DALAM PERJALANAN

SASTRA INDONESIA

1. Pendahuluan

Taufik Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1937. Dalam kurun waktu lebih dari setengah abad, dari tahun 1953 sampai 2008 telah menulis sajak dan dikumpulkan dalam bentuk sejumlah buku: Benteng (1966), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Sajak Ladang Jagung (1973).[1]

Agaknya ada tiga keyword, (kata kunci) yang saya tangkap dari persoalan yang akan dianalisis lebih lanjut. Pertama, kata “posisi”, dalam bahasa Inggris “position” berarti bahwa kedudukan, keadaan, sikap, jabatan, pekerjaan. Kedua, Taufik Ismail, dan yang ketiga, Sastra, dalam bahasa Inggris kata “sastra” berarti, “literature”. Sastra merupakan alat komunikasi yang padat informasi, ia menjadi alat transmisi yang paling ekonomis dan paling kompak, alat yang mempunyai kemampuan menyampaikan informasi yang tidak dimiliki oleh alat lain. Edgar V. Robert (1999), mengatakan bahwa the words literature in a broad, to mean composition, that tell stories, dramatized situation, express emotion, and analyze and advocate ide.[2] Robert mengatakan bahwa dalam artian luas sastra itu merupakan bentuk karangan baik dengan bercerita, situasi dramatis, ungkapan emosi, analisa dan menyokong ide. Sehingga jelas dinyatakan bahwa sastra itu bermuatan emosi dan cerita dramatisasi dari sebuah analisa terhadap kehidupan sosial masyarakat yang melahirkan karya imajinasi.

Karya sastra merupakan satu construct, satu bangunan yang memiliki jumlah sisi. Melalui sisi itulah karya sastra dapat didekati. Dari satu sisi, karya sastra dapat dikonsumsi sebagai hasil dari suatu proses. Manakala dipahami bahwa karya sastra lahir dan hidup dalam masyarakat, maka lahir dan keberadaannya dalam rangka suatu fungsi (Abrams M.H., The Mirror and the Lamp, 1953).[3]

Istilah sastra sebagaimana yang dipahami masyarakat Indonesia adalah sebagai suatu sistem terbaca pada ciptaan-ciptaan yang dikategorikan sebagai produk sastra, yang dilatari oleh sastra yang hidup dalam masyarakat. (Chamamah, 1991). Seperti praktisi sastra yang dikenal karena karya-karya yang telah dilahirkannya di tengah masyarakat, sehingga dibaca oleh khalayak ramai dan akhirnya di kenal dan dikritik serta diulas oleh para kritikus sastra. Seorang dikenal juga karena propesinya, sebagai contoh misalnya, Leonardo Da Vinci, dikenal oleh orang-orang sebagai seorang pelukis, bukan seorang wartawan karena tak pernah menghasilkan liputan berita, atau tulisan jurnalis. Demikian juga Popo Iskandar dan Affandi dikenal sukses melukis, Chairil dikenal lewat puisi-puisinya. Mungkin untuk sementara bisa kita benarkan bahwa propesi yang ditekuni seseorang, mempertaruhkan hidupnya untuk pekerjaan yang digelutinya, akan menempatkannya sebagai seorang pelaku dalam karya-karya yang dihasilkannya.

Namun tidak segampang itu kiranya mengambil keputusan dan menempatkan seseorang sesuai dengan apa yang terlihat dan senantiasa digelutinya tanpa mengkaji lebih jauh, mengupas kulitnya sehingga nampaklah isi. Seperti sebauh jeruk tidak dapat dikatakan manis, sebelum dibuka kulitnya dan di makan isinya. Baru kita tahu bahwa jeruk itu manis, bervitamin, mungkin juga dikenal orang jeruk madu. Demikian pula agaknya cara penentuan posisi seorang dalam dunia yang dikerjakannya setiap saat. Alasan itu juga terpulang kepada pembaca, juga kritikus, serta masyarakat sastra yang akan melakukan penilain melalui pendekatan tertentu untuk menempatkan seseorang. Sama halnya dalam penempatan seorang Taufik sebagai salah seorang sastrawan di Indonesia karena banyak melahirkan karya-karya dalam bentuk sastra. Atau bekerja layaknya apa yang dilakukan oleh para sastrawan.

2. Keberadaan, Jabatan, dan Pekerjaan Taufik Ismail

Sebagai seorang sastrawan –penyair- Taufik selalu saja, dan masih menulis sajak-sajak dan terus di muat dalam berbagai media, juga kemudian pada akhirnya dibukukan seperti terbitan karya-karyanya yang sudah disebut diatas. Selain bekerja mencipta puisi ia juga aktif dalam kegiatan sastra dan membacakan sajak-sajaknya baik dalam kegiatan sastra di tanah air, dan forum di 24 kota di Asia, Eropa, Amerika, Australia dan Afrika sejak tahun 1970. Ia juga akrab dengan seniman lain, seperti ia menghadiri pemakaman Amri Yahya, seorang Pelukis kaligrafi bergaya batik, ia membacakan sajak sebagai bentuk prihatin dalam perpisahan tersebut. Demikian juga ia seorang yang sangat peduli dengan bentuk perkembangan budaya di tanah air. Pada suatu kasus ia sangat mengecam ancaman pornografi terhadap anak-anak, bersama LSM dan aktifitas sosial melawan penyalah gunaan narkoba, adiksi, nikotin, dan pornoaksi yang dipertontonkan di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Hal ini adalah salah satu bentuk kepeduliannya dalam bidang kebudayaan dan membentuknya juga mempertahankan budaya ketimuran sebenarnya. Karena budaya barat-modernisme telah menghempaskan budaya luhur bangsa sesungguhnya. Sehingga seringkali seniman terjebak pada batasan seni yang tidak jelas dan kabur. Bahwa setiap yang indah adalah seni, sehingganya pernografi, seks, kolusi, korupsi, dan nepotisme yang berjangkit dan bentuk penyalahartian dari seni itu sendiri.

Seperi yang dikatakan David J. Schwartz (1996),[4] bahwa bakat, kemampuan dan keterampilan adalah pruduk kita. Demikian halnya kita melihat bahwa bakat serta kemapuan bersajak Taufik sangatlah baik dan memiliki keterampilan yang melahirkan sebentuk karya-karya puisi yang mendatangkan hasil sendiri bagi perjalan sastra dan dirinya sendiri, serta masyarakat. Kejujurannya dalam mengekspresikan realitas, realitas imajinatif yang bersumber pada kenyataan sesungguhnya. Kenyataan yang didukung kreatifitas itulah yang membuat kenyataan dalam sajak-sajak Taufik menjadi mempesona, menyentuh hati nurani, bahkan menghebohkan sehingga dikenal oleh banyak orang. Ia telah melahirkan sajak yang berkualitas tinggi yang sangat menggugah pembacanya. Dimana dikatakan bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang bisa menggambarkan situasi zamannya.[5] Hal ini telah dilakukan Taufik dengan karya-karya dalam kumpulan sajaknya, “Benteng dan Tirani”

Sikap yang selalu optimis dan berpikiran maju jauh ke depan. Selama 55 tahun berkarya nampaknya Taufik tak mencerminkan adanya kebosanan dan tetap konsisten menulis sajak-sajak, berkecimpung dalam dunia sastra, dalam membina Yayasan Bina Antarbudaya sejak 1985. pendorong gerakan 10 Gerakan Sastra Masuk Sekolah (1960-an sampai sekarang), membantuk Sanggar Sastra Siswa Indonesia di 30 kota di Indonesia. Ia aktif membacakan karya-karya dan sebagai pemateri dalam pembicaraan sastra, seperti pada kegiatan Milad FLP, tahun 2002.

Dalam berbagai kegiatannya tersebut ia menemukan keberhasilan. Schwarz, penulis buku best seller, mengatakan bahwa keberhasilan memerlukan usaha hati dan jiwa, dan kita hanya dapat menempatkan hati dan jiwa pada suatu yang benar-benar kita inginkan.[6] Seperti halnya apa yang telah diperbuat Taufik Ismail dalam dunia sastra, ia telah memperoleh keberhasilan itu, dengan menerima berbagai bentuk penghargaan yang telah diterimanya selama menginvestasikan waktunya dalam bersajak dan terlibat aktif dengan bentuk kegiatan sastra. Dan ia sebagai guru sastra yang pantas dicontoh, tentang kekonsitenannya berkarya dan tak menekan pihak lain (baca; generasi muda) untuk maju dan berkembang, namun sebaliknya ia memberikan masukan positif setiap berkesenian. Ia bahkan dirasakan oleh para penulis muda sebagai orang tua yang membela, mendidik dan membimbingnya.

Ia dalam berbagai kegiatan telah mensosialisasikan sastara kepada masyarakat secara luas. Ia membicarakan karya sastra, terlibat dalam perlombaan sebagai juri, sebagai redaktur, menerbitkan karya-karyanya dalam berbagai media. Menjadi salah seorang pendiri majalah sastra Horison (1966).

Dalam waktu 55 tahun berkiprah dalam sastra Indonesia, bukanlah waktu yang bisa dibilang sebentar jika dibandingkan dengan penyair Chairil Anwar yang hanya berkaya dalam kurun waktu yang terbilang singkat dibadingkan Taufik. Akankah waktu yang relatif lama ditempuh seorang sastrawan dalam hal ini penyair dan karya-karyanya dapat dibilang “mapan”. Ibarat padi makin berisi makin merunduk. Akan pulakah kemapanan itu juga bisa menjadi tempat bercermin bagi siapa saja yang peduli dan ingin berkiprah pada dunia sajak.

Kurun waktu yang lama dalam proses berkarya tidak selalu identik dengan kemapanan. Kalau waktu yang berjalan itu dibuang-buang dengan tanpa karya yang dihasilkan. Tanpa apa-apa, maka sebaliknya jika waktu itu selalu melahirkan karya-karya baru dan bermutu maka akan ditemui kemapanan itu. Seperti batang padi yang berisi, berbuah lebat, subur karena di pupuk, di siangi dari rumput, di rawat dengan penyemprotan terhadap hama dan menggaraunya dari serbuan tikus dan burung-burung pipit yang menuianya. Seperti itu pulalah kiranya kita ambilkan analogi, bahwa proses itu sangatlah penting artinya dalam penentuan hasil.

Seperti tadi dibilang waktu 55 tahun mungkin terbilang sebentar bagi Taufik sendiri dalam berkarya, ia mau mungkin seluruh usianya didedikasikan untuk sastra Indonesia yang terus digeluti tanpa kenal berhenti, lelah dan putus asa atau berpikiran untuk beralih propesi misalnya. Namun kesungguhan dalam eksistensinya dalam dunia sastra cukup intens. Mungkinkah ia pernah berfikir untuk berhenti berkarya, berhenti menuliskan sajak, berhenti merenung, berkontemplasi, sebelum maut itu datang. Siapa menyangka bahwa kematian itu adalah suatu kepastian datangnya. Maut itu pula yang telah menceraikan Chairil dari dunia puisinya, memutuskan A.A. Navis dari novelnya.

Bentuk kesuksesan dalam berkarya sering berujung pada kemapanan, keleburan, ketekunan, pengabdian diri dalam dunia sastra, dan akhir nilainya adalah mutu. Saya tidak mengatakan bahwa lamanya waktu yang ditempuh dan jauhnya perjalanan tentulah banyak pula “perasaian” dan asam-garam yang dialaminya. Hal ini tidak serta merta menghasilkan produk yang bermutu tinggi, itu tidak selamanya benar. Karena dunia sastra bukanlah layaknya dunia tematis yang memiliki nilai yang statis. Sastra senantiasa berubah sesuai perkembangan zaman. Demikian pula dikatakan bahwa waktu proses berkarya relatif singkat juga tidak dapat melahirkan karya yang hebat, adalah asumsi yang keliru. Hal ini telah dibuktikan seoarng “penyair binatang jalang”, Chairil. Dalam waktu yang dibilang sebentar, ia telah menciptakan sajak yang fenomenal dan diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Jadi pemikiran waktu dan jauh jarak tempuh tidak menjadi patokan dasar seorang penyair menjadi legendaris, namun intensitas karya-karya yang diciptakannya.

3. Taufik Ismail dalam Dunianya

Sebagai salah seorang pelopor Angkatan ’66. Sebagai layaknya manusia, ia telah memilih jalan sesuai dengan apa yang dikerjakannya dan diminati. Ia sangat menyukai dunia sastra terutama puisi. Mungkin ia merasakan bahwa puisilah tempat yang cocok menurutnya bisa memberikan sesuatu dan mengatakan sesuatu yang tak dapat diceritakan melalui media selain bahasa.

Mungkin pula hatinya tergerak secara alamiyah untuk menyukai sastara dan menuliskannya. Ia memilih bergelut dalam kesehari-harian sangat akrab dengan puisi, cerpen, drama, essai, menterjemah buku, editor kreatif yang telah menerbitkan empat belas judul buku. Namun ia lebih banyak bergelut dengan puisi, baik puisi ciptannya sendiri, juga puisi orang lain. Dimana puisi itu lahir dari bawah sadar jiwa manusia, ia tidak dapat dikuasai oleh logika, karena ia diciptakan secara spontan dan serta merta bersama emosi. Emosi yang lahir bersama irama, menurut Wellek (dalam dalam Hasanuddin W.S., 2002)[7] - mampu membangkitkan gairahnya, berekspresi secara individual dan merdeka layaknya seniman, tanpa terikat oleh sesuatu. Dengan pemanfaatan dunia imajinasi, dunia khayali yang menurut Freud (1983), mengakui imajinasi sumber segala kreasi yang dapat diselami makna dan hakikatnya.

Sebagai seorang yang hidup dari kata-kata yang dibuat puitis. Ia menemukan semacam keajegan dalam hidupnya sebagai penulis. Sebagai sastrawan, ia banyak memperjuangkan kemerdekaan, memprotes kehidupan sosial, situasi politik yang kacau balau, situasi ekonomi yang amburadul, (fenomena sosial yang terjadi pada tahun 1960-an dan tahun 1990-an), tema karyanya juga bercerita tentang agama, cinta, alam dan Ketuhanan. Ia menempatkan dirinya pada jalur yang menurutnya mempunyai “dunia sendiri” yang ia akan “bergerak bebas” sesuai apa yang seharusnya ia perbuat untuk dunianya. Selain banyak menulis puisi, ia juga menulis cerpen, drama, essai, serta kolom dan menterjemahkan sejumlah buku Islam, penlis editor kreatif, juga menulis syair lagu. Semua keterampilan yang dilakoninya itu tetap saja ia akan lebih dikenal sebagi seorang budayawan. Melalui jalan menulis, ia menjadi manusia yang berguna bagi orang lain. Sehingganya tak pelak ia telah menceritakan apa yang seharusnya ia ungkapkan tentang negeri ini, tentang hidup, tentang alam, manusia, dan pekerjaanya, manusia dengan manusianya, juga terhadap Yang Maha Tinggi sekali pun ia bermeditasi dengan puisi-puisi religinya.

Seperti layaknya penyair lain, sebut misalnya penyair Inggris, William Shakespeare, T.S. Elliot, Ezra Pound (penyair Amerika), Sapardi Djoko Damono, Sutardji Colzoum Bachri, Rendra, (sekedar menyebut beberapa nama) bebas menyatakan ekspresi emosi, analisis, ide, gagasan, perasaan, pandangan, perjuangan, hasil olahan dan renungan dalam menilai kehidupannya, mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan. Mereka memilih jalan lewat karya sastra, bahasa sebagai mediumnya. Terutama dalam genre puisi. Taufik sangat berbeda dengan penyair siapa pun, ia mencipta sajak dengan gayanya yang lancar, dramatis, naratif dan penuh satir, dan ironi, serta penggambaran metafor yang tidak terlalu berlebihan. Puisi-puisiya dengan teknik bercerita yang lugas, bahasa sehari-hari yang sederhanan namun tak selamanya mudah dicerna. Tidak dapat dinafikan bahwa di balik perjalanannya berkarya tentu saja ada pengaruh dari lingkungan sosial atau tempat hidup atau bahkan karya orang lain yang dianggap berhasil. Sehingga mempelajari dengan sunguh-sungguh. Biasanya dengan menghayati yang tinggi. Melalui penempatan pilihan dan jalan ekpresi dirinya itu, ia memandang dunia puisi merupakan salah satu bentuk produk sastra sebagai alat penyampaian apa yang menurut hatinya pantas untuk diungkapkan. Baik itu dalam bentuk permasalahan sehari-hari di tempat dimana ia hidup (dalam pengertian secara luas), baik itu ia hidup di masa penjajahan, di alam merdeka yang terikat, dalam alam penuh carut-marut, kehidupan yang tak obahnya seperti bayangan yang tak nyata. Bahkan dunia yang belum pernah ia masuki dan kenali sebelumnya. Bersentuhan dengan sesuatu yang transenden, sesuatu yang ghaib, seperti ketuhanan yang banyak menjadikan inspirasi dalam puisi-puisinya. Juga barangkali dimana sastara dianggap mampu memberikan pengalaman hidup, tatanan sosial, nilai-nilai humanisme, nilai-nilai ketuhanan, bagi masyarakat. Sehingganya ia menjadi berguna dan sangat dibutuhkan orang-orang, seperti seniman - sastrawan- lain. Ia selayaknya dapat disejajarkan dengan pahlawan yang berjuang dengan bambu runcing, para penyair berjuang dengan cara menulis puisi-puisi tentang perjuangan. Ia memiliki andil besar dalam kehidupan sastra, politik, budaya di tanah air ini. Meski tak berdarah-darah kena tembus pelor, kena granat atau meledak kena bom, namun pemikirannya dalam karya-karya sastra yang diungkap pun berpengaruh besar terhadap semangat perjuangan itu sendiri.

Sehingga dari perjuangan keras, seungguh-sungguh dan tanpa henti itu ia telah menerima berbagai anugerah diantaranya:

a. Anugerah Seni dari pemerintah RI (1970)

b. Cultural Visit Award dari pemeritah Australia (1977)

c. SEA Write Award dari kerajaan Thailand (1994)

d. Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa Depdikbud (kini Depdiknas, 1994)

e. Doktor Honoris Causa dalam Pendidikan sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)

f. Penghargaan Presiden Megawati Soekarno Putri 2003 untuk dedikasinya dan aktifitas anti salah guna narkoba.

g. Pedati Award dari pemerintah Kota Bukittinggi, Sumatera Barat (2007)

h. Habibie Award, penghargaan untuk prestasi sastra dari The Habibie Centre (2003)[8]

4. Keterlibatan Taufik Ismail dalam Dunia Sastra

Sastrawan memproduksi sastra tidak bisa terlepas dari tatanan sosial, struktur sosial yang turut mempengaruhi lahirnya karya sastra. Memakai istilah Eka Budianta, bahwa penulis (author) adalah pengemban otoritas, dengan kata lain ia mempunyai wewenang penuh terhadap dirinya sendiri, mau menulis sajak, cerpen, novel, atau drama. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Sapardi Djoko Damono, 1978). Bahwa karya sastra yang dihasilkan oleh seorang sastrawan merupakan adalah suatu kenyataan sosial yang mungkin sudah terjadi, akan terjadi, namun ketika membaca sastra pembaca seolah menyaksikan peristiwa itu sedang terjadi. Sehingganya antara sastrawan, karya sastra dan pembaca, juga kenyataan sosial tidak dapat dipisahkan. Struktur sastra atau komponen yang menjadi bagian karya sastra dan menempatkan kesatuan yang indah dan tepat (Abrams, 1981).[9] Sehingga antara sastrawan, masyarakat dan karya sastra berhubungan erat.

Hubungan timbal-balik dan keterlibatan antara sastrawan, masyarakat dan karya sastra. Maka Taufik sebagai creator, sementara masyarakat sebagai pembaca, penikmat dan penganalisa, atau penterjemah dari karyanya tersebut. Seperti ia berkreasi melahirkan puisi-puisi yang pada kenyataanya puisi itu adalah kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat secara luas, kemudian dalam bentuk puisi pembaca akan menikmatinya, memahaminya, berkontemplasi dengannya. [10]

Setiap manusia bebas menentukan pikiran dan mengolah pikirannya. Bebas dalam artian sesuai dengan kemampuan sendiri. Apakah sastrawan itu akan menulis sajak, cerpen, novel, atau drama. Tidak tertutup pula kemungkinan bahwa seorang sastrawan dikenal serba bisa, ia mampu menulis sajak, menulis cerpen, novel dan drama, namun perlu diingat bahwa orang akan lebih mengenal terhadap banyaknya karya yang dihasilkan oleh sastrawan tersebut, seperti, H. B Jassin yang dikenal sebagai kritikus sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai Penyair. Namun secara keseluruhan bahwa cerpenis, novelis, penyair, dramatist, pada prinsipnya adalah seorang sastrawan.

Lewat karya-karyanya, Taufik Ismail terkenal karena citra visual yang jelas, irama segar, dan baris-baris tersusun baik, cerdas dan tak biasa dan sangat mempertahankan ideologi sebagai penyair yang lahir dari latar belakang budaya bercerita, budaya lisan Minangkabau - tradisi orang Minang yang suka bercerita membentuk gayanya bersajak - sebelum ia benar-benar memilih pulau Jawa sebagai tempat berkarya. Namun juga tergambar puisi-puisi religinya yang amat menggugah dan pencerminan ia menjunjung nilai-nilai agung dari agama dan ketuhanan.

Tidak gampang mempertahankan ideologi bagi seorang sastrawan - penyair - untuk tetap eksis dan tetap berkarya sesuai gaya, sebagai penciri kepenyairan seseorang. Agaknya dengan tanpa membaca terlebih dahulu nama penyairnya kita sudah dapat menentukan dan merasakan karya sesoorang yang sudah dekat diri pembacanya seperti gayanya Chairil Anwar yang lugas dan energik dan penuh semangat, namun berbeda pada Taufik Ismail, ia lebih cenderung merangkai kata-kata dalam puisinya dengan penceritaan yang lancar dan sederhana namun sangat menyentil dan menggugah pembacanya.

Sebagai salah satu dari penyair terhormat, Taufik Ismail banyak mendapat kritikan dan ulasan dari “Paus Sastra Indonesia”, H.B. Jassin, yang membuat ia menjadi dikenal di kalangan masyarakat Indonesia dan masyarakat sastra dan juga lebih luas masyarakat dunia berkat ulasan terhadap sajak-sajaknya, maupun kritikus A.Teeuw. Sebuah perenungan eksperimental yang kompleks dan sangat subyektif atas subyek tresenden seperti waktu, perjuangan membela hati nurani, sifat diri, pengocehan dengan memperbandingkan Indonesia dengan selayaknya, kebobrokan moral, mungkin juga kebodohan dan ketidak sepadanan negara penyair – Indonesia – dengan negara lain yang lebih dibilang seharusnya (dalam sajak Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia) dan kesadaran spritual.

Ia sebagai penyair yang berani berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan dan menentang segala bentuk penjajahan, baik itu dalam urusan sosial, politik, budaya, ekonomi dan penjajahan spiritual, melakukan kritik sosial.[11] Seperti yang terekam dalam sajak-sajaknya dalam kumpulan “Tirani dan Benteng” (1966). Karya-karyanya sangat tenang, lancar namun terasa benar-benar tajam pencitraan dan kepuitikan yang dibangunnya. Mungkinkah keberhasilan semacam itu terjadi hanya tanpa keseriusannya dalam terus menggali dan menulis puisi sepanjang hayatnya. Namun dengan demikian besarnya kontribusinya dalam dunia sastra khususnya puisi maka ia dikenal sebagai seoarang penyair.

5. Taufik Ismail Penyair Penggagas Angkatan ‘66

Agaknya kita semua membenarkan bahwa semua orang dapat mengarang. Banyak mereka memilih tetap hidup pada daerah yang tidak jelas batasannya (baca; dunia sastra; sajak). Dimana mereka bebas mengekspresikan diri mereka, dalam bentuk yang mereka inginkan, mereka khayalkan, dunia yang dicipta sendiri berdasarkan keinginan sendiri. Dunia itu luas dan cenderung menuai banyak persoalan, tetapi kaya menfaat. Dunia itu juga telah memberikan banyak kontribusi kepada mereka, peradaban, kepada dunia itu sendiri. Seperti memiliki kekuatan yang selalu bergeser pada setiap keadaan. Inilah dunia yang dijalani Taufik selama lima puluh lima tahun.

Zaman sudah barang tentu berubah. Pemerintah berubah, masyarakat berubah, mungkin sastra juga berubah sesuai zaman. Dimana pada mulanya karya sastra yang dikembangkan oleh Angkatan Balai Pustaka, Angkatan ’45 dan angkatan Pujangga Baru, sehingga akhirnya muncul Angkatan ’66. hal ini menampakkan sastra lahir tak terlepaskan dari penciptaan dan pencipta (satrawan) dimana akan dipengaruhi oleh struktur sosial dalam mana ia berada dan karya sastra akan memiliki fungsi terhadap struktur sosial tersebut, (Ashadi Siregar: 1985).

Dalam kesusatraan Indonesia, Taufik bersama beberapa penyair seangkatannya membagun sebuah angkatan sastra yang dikenal angkatan 66. Sebagai penyair yang kreatif dan selalu menggali makna-makna baru dan pencitraan untuk menciptakan puisi dengan pengolahan cara bercerita namun mengandung satire dan cemoohan halus tentang persoalan yang direkamnya dalam bentuk puisi. Ia juga dibilang sebagai penyair Indonesia Modern. Sampai saat ini ia masih tetap eksis dan terus bereksperimen. Ia masih tetap bersikukuh mempertahankan gayanya yang sangat khas, dengan bercerita namun tetap hemat kata-kata. Ia termasuk penyair narasi yang tidak royal kata-kata. Seperi ia tak mau terpengaruh dengan gayanya “penyair imajis”, Sapardi Djoko Damono, dengan sajak bergaya mantranya Sutardji Calzoum Bachri. Taufik tetaplah seperti ia yang telah dikenal banyak orang. Ia tetap mempertahankan ideologi yang telah ia tanamkan dalam dirinya. Agaknya inilah pengalaman tersulit bagi seorang sastrawan – penyair - untuk tidak terpengaruh, karena pengaruh dapat menimbulkan peniruan, pengaruh terbesar akan menghilangkan kepribadian sendiri, (Jassin: 1983).[12]

Sejarah perkembangan kesusastraan (baca; dunia sastra) Indonesia telah panjang. Sampai saat ini telah terbentuk pula adanya sastra dari Hamzah Fansuri ke Elliza Fitiri Handayani. Sudah sederatan catatan panjang sejarah sastra Indonesia, mulai dari Angkatan Balai Pustaka (Angkatan ’20-an, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ’50, Angkatan ’66 dan Angkatan 2000). Pendapat yang mengatakan bahwa Angkatan ’66 yang telah mati, namun Jassin menyangkalnya bahwa Angkatan ’66 tetap akan tetap hidup bersamaan dengan tetap dibaca dan dikajinya karya-karya mereka.

Kontribusi sangat besar telah diberikan dan diukir dalam perjalanan sastra tanah air, karya karya menumentalnya, Benteng (1966), Tirani (1966), Serta sejumlah karya-karya besar, Etsa (1958) Toto Sudarto Bachtiar, Mata Pisau (1974), Sapardi, Robohnya Surau Kami (1956), A.A. Navis, Lelaki dan Mesiu (1957), Trisnojuwono, Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) dan sejumlah karya sastrawan Angkatan ’66 lainnya.[13] Sebagaimana Arif membaca sejarah sastra di Indonesia, sastara yang selalu berhubungan dengan masyarakat tempatnya berkembang sastra yang penuh dengan “warna”. Hal ini menjadi tonggak perkembangan sastra Indonesia.

5. Kontribusi dan Eksistensi Taufik Ismail

Sastra dipahami sebagai suatu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagaiman Ellis (1974) mengungkapkan bahwa (teks) sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam macam cara tertentu oleh masyarakat samentara. Sebagai salah satu genre sastra yang sulit didefinisikan dan menimbulkan banyak persepsi tentang definisi dari puisi itu sesungguhnya. Namun dapat dipahami bahwa puisi adalah hasil renungan reflektif, kontemplatif dan mediatif.

Karya-karya yang dilahirkan dalam wadah bahasa Indonesia oleh pencitpa-pencipta sastra atau “masyarakat sastra Indonesia”, disebut juga produk sastra, seperti halnya sajak-sajak yang telah ditulis Taufik dalam rentangan waktu yang cukup lama. Sastra yang memiliki komunikasi antara pencipta dengan pembaca sehingga tersampaikan fungsi-fungsi yang termuat dalam karya sastra tersebut. Sajak-sajak Taufik Ismail yang telah terangkum dalam bentuk kumpulan-kumpulan sajak telah memberikan banyak sekali kontribusi dan menyampaikan fungsi-fungsi dari setiap kata-kata puitis yang ada dalam sajak-sajaknya. Sehingganya tak bisa dilepaskan begitu saja dengan sejarah masa lalu ketika ia menulis “Benteng” dan “Tirani”, seakan kita menyelami dalamnya makna yang diusung sebuah puisi, sebagai wujud keikutsertaan manusia dalam mencipta sejarah.

Di samping sejumlah puisi-pusinya yang telah dikemas dalam bentuk buku, ia bukanlah sastrawan yang pintar sendiri, ia juga berjuang dengan melakukakn berbagai cara pengajaran sastra di sekolah, dengan melakukan program, “Siswa Bertanya, Sastarawan Mejawab”. Kegiatan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan dan membakar semangat berkaya para siswa, yang tidak hanya terjebak pada sebatas kebiasan mengenal terori sastra belaka namun terlebih pada bentuk penciptaan dari karya sastra itu sendiri. Banyak siswa yang menjadi penulis, jadi tidak hanya sekedar diberitahu tentang sejarah sastra, tokoh-tokoh sastra yang dikenal lewat per-angkatannya, teori sastra, namun juga bagaimana seluk-beluk berkarya dan seputar permasalahan yang gagap membaca sastra.

Selain gebrakan luar biasa dari gagasan Taufik Ismail juga mengadakan rubrik “kaki langit” pada majalah sastra Horison yang ditanganinya. Ia berkiprah sebagai salah seorang redaktur sastra bersama, Sapardi Djoko Damono, Agus R. Sarjono dan redaktur lain. Melalui rubrik “kaki langit” itu, ia telah memberikan sesuatu yang sangat penting artinya bagi pengajaran sastra sekolah. Juga membahas segala macam keluhan dari para guru dalam sekolah menjadi pilihan untuk dibahas karya-karyanya. Sehingga pelajaran sastra di sekolah tidak membosankan, tidak hanya sebatas pengetahuan dangkal tentang sastra, ia juga memotivasi dan mendorong siswa untuk menulis karya sastra.[14]

Sebagai redaktur, ia telah ikut andil dalam perkembangan sastra di Indonesia, sebagaimana majalah sastra Horison dipandang salah satu majalah sastra yang tidak banyak di Indonesia, seperti dulu juga ada majalah sastra Siasat, Basis, yang memuat seluruh halamannya dengan karya sastra, baik itu berupa cerpen, essay sastra dan budaya, sajak, membedah karya sastra dan membicarakan seputar teori sastra, pendekatan dan sejarah dari sastra, dan permasalahan seputar sastra di sekolah, di tanah air, secara luas dalam dunia sastra. Hal ini telah memberikan sumbangsih sangat berharga bagi penentuan kualitas, karena sastra ditangani oleh yang ahli. Sehingga produksi karya sastra yang layak muat dan diterbitkan dalam majalah tersebut sangatlah ketat dan penuh persaingan. Dalam penentuan layaknya suatu karya penulis di muat adalah dengan berpijak pada layaknya sebuah karya sastra bermutu tidaklah gampang. Tidak dengan serampangan menebitkan suatu karya tertentu dan tak pula mengikat akan hal selalu saja sastrawan sudah punya nama akan selalu diterbitkan dan akan memenangkan persingan, namun terlebih pada mutu dan nilai-nilai yang termuat di dalam suatu karya yang akan dimuat tersebut. Terbukalah kesempatan bagi siapa saja penulis, mau menerbitkan karyanya dalam majalah sastra tersebut.

Ia pula menampakkan sikap antusias dalam memotivasi tumbuh dan lahirnya kelompok penulis, sejumlah komunitas sastra di tanah air, seperti halnya Forum Lingkar Pena (FLP) yang berdiri 22 Februari 2007, dipelopori oleh Helvy Tiana Rosa, dan kawan-kawan. Yang kini melahirkan penulis-penulis di berbagai kota di tanah air dan luar negeri. Salah satu penulis FLP yang sukses diantaranya Habiburrahman El-Sirazy, penulis novel Fenomenal Ayat-ayat Cinta, Asma Nadia, Gola Gong, Afifah Afra Amatullah, Melvy Yendra, Novia Syahidah, Mutmainnah, dan masih banyak lagi yang telah menerbitkan lebih dari 200 judul buku.[15]

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H., the Mirror and the Lamp, New York: Oxford University Press, 1953]

----------, A. Glossary of Literature Terms, New York: Holt Rinehart and Winston. 1981

Al-Ghifari, Abu, Kiat menjadi Penulis Sukses, Bandung: Mujahid, 2002

Damono, Sapardi Joko, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Pt Gramedia, 1983

---------, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Jassin. H.B., Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa, Jakarta: Puspa Swara, 1993

-------------, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, Jakarta: PT. Gramedia, 1983

-------------, Kesusastraan Indonesia Miodern dalam Kritik dan Esei II, Jakarta: PT Gramedia, 1985

Hasanuddin WS, Membaca dan Menilai Sajak, pengantar Pengkajian dan Interpretasi, Bandung: Angkasa, 2002

Horison, Tahun I, No 01, 2000, hal. 7

Kontowijoyo, Selamat Tinggal Mitos selamat Datang Realitas, Bandung: Mizan, 2002

Mahayana, S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonsia, Jakarata Timur: Bening, 2005

Navis, A.A, Geo Sastra dan Seni Minangkabau, Sumatera Barat, 1997

Nursito, Ikhtisar Kesusastraan Indonesia, Yogyakarta: Adicita, 2000

Roberts, V. Edgar, Writing About Literature, United States of America: Prentice-Hall, 1999

Shadily, Hasan, Kamus Inggris Indoensia, Jakarta: PT Gramedia, 1976

Schwartz, J. David, Berpikir dan Berjiwa Besar, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996

Yasmi, Dian Fajri, dkk, Buku Sakti Menulis Fiksi, Jakarta: PT. Kimus Bina Tadzkia, 2004



[1] Drs. Nursito, Ikhtisar Kesusastraan Indonesia, Yogyakarta: Adicita, 2000, hal. 154

[2] Edgar V. Roberts, Writing About Literature, United States of America: Prentice-Hall, 1999, hal. 2

[3] M. H. Abrams, The Mirror and the Lamp, New York: Oxford University Press, 1953

[4] David J. Schwartz, Berpikir dan Berjiwa Besar, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996, hal. 352

[5] H.B Jassin, Sastra Indonesia Seabgai Warga Sastra Dunia, Jakarta: PT. Gramedia,

[6] Ibid,

[7] Hasanuddin WS, Membaca dan Menilai Sajak, pengantar Pengkajian dan Interpretasi, Bandung: Angkasa, 2002, hal. 7

[8] Dalam Selebaran Lomba Karya Tulis Mahasiwa Tingkat Nasional Tentang Taufik Ismail, 2008 yang diselenggarakan Horison

[9] Op cit

[10] Ibid., hal. 5

[11] Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Pt Gramedia, 1983, hal.21

[12] Ibid.,

[13] Loc cit,

[14] Horison, Tahun I, No 01, 2000, hal. 7

[15] Dian Yasmi Fajri, dkk, Buku Sakti Menulis Fiksi, Jakarta: PT. Kimus Bina Tadzkia, 2004 hal. 37

Tidak ada komentar: