Sabtu, 14 Juni 2008

cerpen

Kawan Terakhir

“Ini otto terakhir, Buk…,” kata kondektur otto Kawan.

Mobil ke Jurusan Pariaman-Padang itu terlihat penuh sesak.

Bohong, pikirku. Ini hanya triknya saja agar sekitar lima orang calon penumpang naik ottonya. Besok hari libur nasional, hari raya Idul Adha. Aku bekerja di kantor Gubernur. Hampir setiap hari bolak-balik Pariaman-Padang untuk membantu suami menafkahkan keluarga. Dua anakku masih kecil. Sebentar lagi si Adek mau masuk sekolah.

Azan Maghrib menggema dari toa-toa masjid. Terdengar saing-bersaing. Lampu di rumah-rumah, plaza dan di kedai-kedai pinggir jalan menyala. Cahaya siang bertukar listrik. Aku berdiri di halte. Tepat di depan Masjid al-Azhar. Tanganku mulai letih menenteng sekantong plastik hitam besar berisi barang belajaan. Terus kuperhatikan ke arah otto Kawan dan Alisma yang datang dari arah utara. Sementara, dua anak kuliahan dan bapak bersama istrinya sudah naik ke atas otto Kawan duluan. Kondektur menghampiriku untuk kesekian kali. Sementara agen lain menarik paksa barang belanjaan dari tanganku.

“Mari, Buk…! Otto mau berangkat. Percayalah, ini otto terakhir,” lelaki kondektur sebaya dengan adik bungsuku. Aku tetap tidak percaya. Firasatku mengatakan masih ada satu lagi mobil terakhir. Biasanya jam tujuh otto terakhir.

“Percayalah, Buk…!” rayu si kondektur.

Pep…Pep…! Sopir mengklakson si kondektur sebagai isarat otto segera berangkat. Sudah penuh bahkan sesak. Kawan mulai bergerak lambat. Tiba-tiba lidahku tercekat. Tunggu…!. Mobil terus melaju. Aku berlarian sambil bersorak, tunggu…! Tunggu…! Seorang penumpang yang berdiri di pintu melihat ke arahku dan memberitahu kondektur.

Mobil berhanti, lalu otrek beberapa meter.

“Rapat…! Rapat…! Tolong geser, Pak…Buk…,” kata kondektur ke penumpang yang berdesekan berdiri di bagian tengah. Seperti susun kelapa. Aku naik dari pintu belakang. Plastik tentenganku diambil kondektur dan menyelipkan di belakang pintu. Aku terus menyelinap masuk dalam desakan orang-orang. Kebanyakan penumpang di atas mobil laki-laki. Rata-rata berbadan kuat. Ada sekitar lima orang duduk santai bersama pasangannya. Barangkali pacarnya.

Dengan tubuh besar dan berat aku berpegang pada sandaran bangku. Aku terjepit di sela-sela lelaki tinggi besar. Hidungku tepat berada di bawah ketiaknya yang masam. Perutku mual-mual. Berkali-kali aku kesedak terhisap asap rokok. Bau parfum murahan pun menyengat bercampur baur menjadi saatu. Menyesak hidung.

Mobil direm. Seorang ibu-ibu naik dari pintu belakang.

Aku semakin terdesak ke tengah. Otto semakin sesak. Aku sulit bernafas. Peluh mulai merembes di dalam baju. Dari sela-sela tubuh orang-orang kulihat nenek-nenek bertongkat kesusahan mempertahankan berat badan. Tangan kurusnya tampak sedikit bergetar berpegangan di sandaran kursi. Sebelah tangannya lagi memegang tongkat. Sementara sepasang anak muda tepat di bangku tempat si nenek berpegang, sepasang anak muda asyik bercanda dan ketawa-ketawa ria. Apa ia tak hiba melihat si nenek tua itu?

Mungkin mereka berpikir; ini bangku aku yang membayar. Tak urus, biarlah si tua itu, memang nasibnya mendapat jatah berdiri. Tak ada yang mau mengasihkan tempat duduknya padanya. Hatiku merutuk orang-orang di atas mobil, semua kuat-kuat. Lelaki lagi! Hatiku marah-marah sendiri, aku pun tak punya kekuatan untuk membantu. Kalau ongkos juga di bayar sama dengan yang mendapat tempat duduk. Sungguh tak adil! Ya…ini tak adil namanya.

Lagu Minang terdengar dari speker. Suara orang-orang bercampur baur menjadi satu. Aku tetap bertahan di atas kaki terasa semakin tak kuat menahan berat badan. Aku terhanyut ke dalam alunan nyanyian. Tiba-tiba mobil direm. Aku dan orang-orang yang bergantung di bagian tengah sedikit tergeser ke depan.

Si nenek terjatuh. Terjerambab. Tongkat lepas dari genggamannya. Kulihat sebelah kaki kanan buntung. Tolonglah! Teriakku dari belakang. Orang-orang hanya melihat bagai tontonan. Ia berupaya sendiri meraih tangan kursi untuk membantu tubuh tirusnya berdiri. Sekali lagi kukatakan orang-orang di sekitar tak peduli. Tak seorang pun menolong. Tak ada merasa hiba, tak ada kasihan. Hatiku merintih menyaksikan. Aku tak bisa menyelip beberapa bapak-bapak dan anak muda berdiri di bagian depan. Mereka menjadi penghalangku untuk menolongnya. Aku tak bisa tinggal diam menyaksikan pemandangan menyentuh perasaan. Tangan dan hampir seluruh tubuhnya gemetaran. Barangkali untuk beberapa saat lagi ia akan kembali tumbang. Aku sendiri pun tak bisa berbuat apa-apa. Memperjuangkan diri sendiri. Kejadian ini yang paling aku benci. Berdiri, tapi mau apa lagi, tak ada pilihan.

“Ongkos, Buk…” suara kondektur tepat di belakang telingaku. Kuserahkan uang lima ribu.

“Dua ribu lagi, Buk…”

“Tadi pagi masih segitu.”

“Minyak naik, Buk.”

Aku tak memberikan uang tambahan. Terlihat watak tak sekeras tampangnya. Ia tak lagi menagih. Aku diam. Karena telah berlalu menagih ongkos pada penumpang di bagian depan. Aku semakin terdesak ke tengah. Sikut bapak-bapak berseragam kantor mengenai keningku. Maaf…, katanya. Kulihat di sela-sela desakan itu, si kondektur meminta uang pada si nenek.

“Turun dimana, Mak…?”

“Simpang Apa,” suaranya terdengar bergetar.

“Dua ribu lagi, Mak…”

“...”

Aku benar-benar tak tahan menyaksikan si kondektur meminta paksa.

“Kalau tidak turun di sini!” kata si kondektur gusar. Sedari tadi tak ada yang mau menambah ongkos sesuai permintaannya. Ongkos belum resmi naik. Itu akal-akalan saja.

“Oi…Yuang, tak boleh begitu sama orang tua!”aku terus berceloteh sendirian di tengah penumpang yang berdesakan. Orang-orang acuh tak acuh. Tak perlu di dengarkan. Anggap angin lalu. “Semua lelaki di atas otto tak ada lagi rasa pri kemanusian. Semua hanya memikirkan diri sendiri. Orang gaek dibiarkan berdiri kesusahan dengan satu kaki. Coba kalau dia orang tua kita.”

Seorang lelaki tepat di samping nenek itu berdiri dan menyilakan si nenek duduk di bangku yang ditempatinya. “Terima kasih…” kata si tua itu.

Mobil direm lagi. Aku terdorong lagi. Seorang bapak berseragam kantor turun dari pintu belakang. Lelaki di sampingku menyerahkan pula bangkunya padaku,

“Tanggung,” balasku seperti tak butuh. Kupikir sudah terlambat. Sudah terlanjur penat. Rasanya ia berbuat begitu karena merasa tersindir oleh perkataanku. Padahal aku hanya mengatakan bahwa kaki benar-benar berada pada titik penat tertinggi yang pernah kurasakan. Tak sanggup lagi menahan berat badanku yang hampir enam puluh kilogram. Lampu di bagian tengah menyala pudar. Kulihat jam di pergelangan tangan. Pastilah suami dan anak-anak di rumah sudah kelaparan.

Otto direm mendadak. Aku kehilangan keseimbangan. Pegangan tanganku terlepas. Aku terjatuh. Kurasakan kepalaku membentur besi tangan kursi. Tatapanku mengelam.

“Buk…! Buk…!” terdengar suara memanggilku. Kubuka mata, kulihat semua bangku telah kosong. Hanya diriku sendiri yang kudapatkan duduk di salah satu bangku.

“Ibu tadi jatuh, “ kondektur memberi penjelasan. “Ibuk turun dimana?”

“Di Pauh Kamba…”

“Sudah lewat, Buk, ibuk turun di sini saja.”

Panik. Aku turun. Otto kembali melaju. Mula-mula pelan kemudian semakin kencang.

“Hei…! Hei…tunggu! Barangku!” kondektur tak mendengar sorakanku. Kusaksikan Kawan terus melaju dengan kencang meninggalkanku.

***-

Padang Juni 2008

Tidak ada komentar: