Catatan Kuliah
Kuliah Bukan untuk Merengek Sama Ortu
Oleh Zul Afrita
Kampus berfungsi untuk membentuk intelektual. Awalnya saya tak terlalu berminat kuliah. Untuk apa kuliah hanya untuk menghabiskan uang. Mulai dari biaya testing masuk, uang semester terus melejit, uang pratikum (untung pada angkatan saya belum ada) ditambah kepada biaya membeli buku mata kuliah. Ditambah lagi biaya kos dan belanja Hp. Semuanya terkait dengan persoalan uang. Jadi saya pikir kuliah tak bisa menghasilkan uang, itu mulanya. Mula-mula saya semester awal kuliah. Selama satu semester saya bermasalah dengan uang kiriman dari kampung. Saya merengek sama amak sekali seminggu wajib pulkam karena jarak kampung-kampus dekat. Satu jam naik motor. Saya kasihan sama amak di rumah yang terkadang harus mengutang sama tetangga unutk biaya kuliah saya. Kemudian saya berpikir. Kuliah seperti yang rekan-rekan saya bilang hanya buang-buang uang. Akhirnya saya mengiyakan pendapat rekan-rekan di lepau waktu itu.
Sampai setahun saya menumpang di rumah kakak sepupu yang berada. Hidup dalam dunia serba ada. Sempat terpikir setelah hidup menumpang meski di tempat kakak sepupu saya merasa terikat. Sepulang kuliah harus cepat-cepat pulang untuk menunggu rumahnya. Akhirnya saya menerima tawaran untuk tinggal di Sanggar Kaligrafi sebagai tawaran dari seorang dosen di Fakultas. Saya terima tawaran tinggal gratis itu. Ternyata saya lebih bisa kreatif dan produktif. Saya terus berpikir untuk tidak merengek sama amak. Saya tidak sepantasnya setingkat mahasiswa masih saja merengek minta belanja. Saya merasa malu pada diri sendiri. Otak saya berpikir, bagaimana merubah imej, bahwa kuliah hanya buang-buang uang. Tahun selanjutnya saya memperoleh beasiswa Supersemar dari IPK tertinggi di jurusan saya. Waktu itu saya terima uang secara kas delapan ratus ribu rupiah. Pada tahun 2002. (waktu itu lontong baru seribu
Kuliah tidak mesti miskin. Kuliah tak mesti “menjadi pengemis” di mata orang tua. Saya galilah potensi diri saya, ternyata saya punya potensi lebih di bidang seni. Ketika itu saya sudah kuliah di jurusan Seni Kaligrafi. Saya terus berkarya dan produktif melukis kaligrafi di kanvas-kanvas yang saya beli di toko gramedia dari uang beasiswa itu. Sebagian saya bayarkan untuk biaya semester. Ternyata karya saya diminati banyak dosen, di kenal kalangan umum. Saya menerima uang dari penjualan lukisan kaligrafi itu. Dengan tersenyum saya bangga pada diri saya. Ketika mahasiswa lain masih menetek di susu ibunya saya sudah bisa berlari. Saya sudah bisa mencari uang sendiri. Saya tegak berdiri di atas kaki sendiri. Saya tahu ini adalah karunia Tuhan yang amat luar biasa. Pada tahun berikutnya saya menerima proyek pembikinan baleho MTQ Tingkat Propinsi Sumatera Barat di Sawahlunto Sijunjung (2005) saya kasih ke amak di kampung. Ia menangis. Ia mulanya tak yakin saya bisa mencari uang. Amak masih ragu dan gagu untuk menerima beberapa lembar ratusan ribu yang kudapatkan dari tender kaligrafi itu. Setelah kujelaskan suka dan pahitnya mendapat uang itu amak benar-benar berlinang air mata. Saya terharu di mata saya juga terasa kelabu dan berembun tiba-tiba.
Dengan uang hasil menjual lukisan demi lukisan ditambah tawaran membuat kaligrafi di masjid saya bisa membeli apa yang saya inginkan tanpa merengek sama amak. (karena kebetulan tak bisa merengek pada abak, ia telah dijemput-Nya ketika saya masih SD). Rejeki dari Tuhan itu saya gunakan untuk melanjutkan kuliah S 1 jurusan Sastra Inggris untuk modal bahasa saya jika cita-cita saya terwujud untuk pameran keliling dunia. Dari uang itu saya bisa membeli komputer, membeli Hp, membeli motor, yang terpenting menabung untuk melanjutkan kuliah S2 kalau bisa ke luar negeri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar