Tengadah ke Langit
Tafakur ke Bumi
-Fakir
Sesuatu berbisik dalam dirinya, kala langit merah. Retak terbelah. kau datang memecah buih di gelombang menepi. Ia dengan langkah sendat-sendat mengumpulkan sisa remah. Kelopaknya menguning. Ranggas. Hatinya merutuk janji hujan jatuh dalam sakunya.
Di tengah kota-kota yang miskin tadi malam, di
telapak
Telapak telah mencatat sajak dalam langkahnya.
Hari ini tak seperti kemaren, kau tersenyum pada matahari. Jalan-jalan ke Tuhan lengang. Sembahyang rumput, orang-orang jarang bertandang ke rumah.
Jalan lengang tak tampak wajahnya berkata hari masih terbenam.
Sajak sakit hati
-nt
Tak ada yang bisa kuceritakan tentang warnamu yang kelabu. Lihat langit telah merah. Kau tergantung di wajahmu ada letih.
Hari separoh mati di genggamanmu yang kehilangan kata-kata untuk bercerita. Tentang sesuatu yang hilang tadi pagi. Kau menepukku dengan cerita yang tak sepantasnya kau katakan.
Telah usang kata-kata di lidah kelumu. telah kehabisan bisa.
2008
suatu pagi
suatu pagi bunga malu-malu mekar
suatu pagi embun perlahan dibakar matahari
suatu pagi ibu-ayah bertanam padi
suatu pagi mimpi mengerikan malam tadi
suatu pagi berangkas tetangga dibobol maling
suatu pagi penjaja pengantar koran
suatu pagi gadis berharap matahari
suatu pagi dari rencana tengah malam
suatu pagi diari kembali ditulis kesedihan
suatu pagi kemerdekaan dipenjara
suatu pagi televisi menayangkan bencana
suatu pagi korupsi tergelar di perkantoran
suatu pagi carut marut di pasar
suatu pagi jalan-jalan macet
suatu pagi orang-orang bertebaran mengais rejeki
suatu pagi ada cerita tak terlukiskan kemaren
suatu pagi moral semakin di jual dipinggiran jalan
suatu pagi tugas kemaren terbengkalai
suatu pagi seperti menemukan jalan buntu
suatu pagi ada yang kehilangan kepala
Bumi Imam Bonjol,
kesunyian jendela matamu
tengah malam, laut tenang di jendela matamu
kerdip lengang dan nyanyian pagi,
nyanyian petang, nyanyian senja.
(burung-burung berhenti berdendang
bersedih, sarangnya telah dipunahkan badai yang kau kirim senja tadi)
sejak lama aku jatuh di kedua sunyi matamu
sinarnya membuat gagu
tak perlu kau terima hati berceceran ini
biarlah ditangkap angin
ditenggelamkan air
nanti kau berbencana, pudar, gusar
telah airmata mengalir
hanyutkan di waktu sebentar.
kau menggelepar di malam buta
bercerita tentang cinta
meratapi perpisahan
perasaan terapung di kepala
mulut tertahan bicara
sunyi hati terbakar kesedihan
malam pun tak ada bintang memberi kerlip
atau bulan benderang
atau jejangkrik berdendang
pada malam hanya aku sendiri yang kau temukan tenggelam. Larut menimang gerimis
Studio Senja,
cermin rengkah
takkan kembali
menunggu bayangan memudar
cermin pecah
hari berkejaran mengusung belulang
suatu malam begitu mengerikan.
mimpi buruk, ia harus berhenti bercerita
mulutnya hancur di cermin
malam larut. Anak-anak sudah lelap
nyanyian nina bobok dan dongeng terdengar bergetar. Dari mulut ketakutan.
di halaman anjing menggonggong
sapi melenguh. Hujan berkejaran di atap
pada ruang tamu sendiri,
ia menyusun dirinya dalam pecahan cermin bertaburan.
wajahnya berkeping menjadi partikel-partikel
hilang dalam pekat cahaya malam
ia merangkai wajah baru
kamar pertama, Padang, Januari 2008
umpama aku
Aku laut menenggelamkan kau
Pada dingin dasarku, tenang jiwaku
Aku angin menerbangkan kau
Pada negeri tak bertuan
Aku api membakar kau
Pada esok tak sempat kau hitung
Aku nyanyian menghibur kau
Pada luka berkepanjangan
Aku airmata kau tumpahkan
Pada musim perpisahan, kau benci
Aku lukaluka lama kau
Sejak siang sajak terbentang
Aku ingin tak seperti siang-malam, hitam-putih
Rajin-malas, kucing-anjing,
kupu-kupu cantik menari-nari di pelupuk matamu
ia ingin menyeberang dunia kelam
sudah kucegah dirinya menjauh, melepaskan tubuh
dari genggaman waktu lain
bahkan malam sempat mendongeng tidurnya
malam lelah tak ada kerdip bintang-gemintang
ia terus berjalan susuri taman-taman bunga malam perlahan menuruni ciuman angin
berhembus dari angan, ia cinta tengah malam
malam tuak. Ia lelap dinyanyikan kupu-kupu
paha tersingkap, mata nyalang
di genggaman. Gemetar ia memetik cinta malam
tak mau mati gantung diri, kalau ingin menjauh
meninggalkan sendiri. Di rumah sunyi
ia menelanjangi kehadiran malam
seekor kupu-kupu menari-nari,
hendak ia tangkap
jemarinya bergerak-gerak. Hinggap pada mawar penuh duri
“Jangan jamah, nanti kau terluka,”
tapi kupu bersayap indah warna-warni diterpa lampu taman. Gemerlapan
dirinya terbang, menari bersama di angkasa. Berdansa, berpelukan
bermain cubit-cubitan atau pegang-pegangan.
Tapi angin membuat dirinya menggigil
Ia telah lama tak bicara
tentang malam penuh nyanyian, cerita dan tarian gemulai seperti kupu-kupu betina Matanya tegang
cantiknya kupu-kupu
Ia terjatuh dalam kubangan malam
Jejak langkah lelah
Hari lelah hitung jejak langkah,
ada tercecer tak pernah dihitung
muka pesiang pada cermin retak, berdebu kecipak angin melambungkan angan
siang bertandang
lelap terkapar di tanah basah.
cium lukamu penat menanti penawar
kau berada dalam bayang, memudar hujan
bersama deras air dari langit. Petir menyambar
asal kau mengerti dengus hari-hari
mengajarkan berlari
bersama damai awan. Berlalu dengan tenang.
katakan padamu, siang tak selama terang
malam tak selamanya berbintang
pesankan pada ibumu menuai padi di sawah
matahari telah membakar punggungnya.
lukisan pada dinding semalam
Kau menumpahkan airmata, menetesi hatiku
Angan terputus, waktu menyeyat luka
Goresan hatinya mengapung di wajah
Inginan menyudahi cita-cita lama
Ia tak siap mengarungi bahtera baru pada laut berbadai
Cuaca memburuk
Angin menderas membawa hanyut
Ia tak mau tinggalkan cerita manis di rumah
Sehingga tak mengerti
Untuk apa kau ukir lukisan di dinding semalam
Kalau akan menghancurkan tembok-tembok
Telah dibangun berdarah-darah
Waktu kau tertawa menatap bayangmu pada dinding itu
Tinggal merengkuh bayangmu
Kau tahu, kini sepilah mentertawakan
cerita ini
Tenteramlah kau bersamanya, di hatiku mengeram pesakit
Dari luka-luka kurakit mimpi
Akankah ada bayang-bayang baru menemani langkah hampaku
Cuma bayangan diriku menyepi.
sembilu lidah
tipis, tajam, lukai hati berdarah
sayatan nyisakan luka
lidah lunak
tak seperti kubayangkan
ketika lidahmu menyayat-nyayat hatiku
tak ada darah menetes
tak tampak pula robek luka
tapi sakitnya merasuk ke hulu,
pedih
perih
Malas
leMas
Apes
Lelah
Akal
maSalah
TanahTuhan 2008
duh cantiknya, DARAHMU!
Sejarah diukir di dinding berlumut
Aku mau memprotesmu
Jantungku kau sobek-sobek cinta
Anak panah kau menembusnya
Kau tetap saja berkata:
Duh cantiknya, DARAHMU!
Tanahtuhan, maret 2008
Bingung
a n
l b
u e
b r
k
a
b
u
n
g
!!
Ap!!!!...
i, matamu sebentuk surga
i, aku larut dalam pandangan semu
i, mengajarkan tentang api
i, kemudian aku menghanguskanmu
i, semenjak kau pergi tak kembali-kembali
i, karena beranda hati sepi
i, nyanyian tlah usai malam-malam sepi
i, ada kau angkut jiwaku pergi
i, kehilangan nyawa pada jejak tertinggal
i, mau menjemputmu dengan tentara emosi
i, kau tunggulah di jendelamu setiap pagi
i, aku akan mengamen di wajahmu sunyi
i, biarlah mama mengusirku kembali
sungguhkah telah hapus di hatimu
setelah kau temukan sebentuk hati
lebih manja, suatu kisah pernah bercerita
tentang datang- perginya kau begitu saja.
i, kau salah, aku tak pernah goyah memelukmu
tanahtuhan, Maret 2008
onggokan sampah
Sejak kau mulai berbagi
Aku juga telah membelah jantungku sendiri
Matamu masih saja menggelitik geli
Pasti kau pikir aku juga akan mati tersakiti
Asal kau tau, aku terus bernyanyi
Hanyalah kau, tak lebih dari onggokan sampah !
Tanahtuhan, Maret 2008
tanahtuhan
Tempat kau terlempar dari surga
Adam dan Hawa telah menelan kuldi
Nenek moyang iblis itu merayunya
Alam tercipta tempat kalian bernaung
Hampa dari nyanyian
Dia tak pernah mencerca dan mengumpaT
meski selalu saja langkah ragU
iman-iman di dada goyaH
sebenarnya kau tanyA
dari dulu Dia TuhaN
Tempat kau berladang dosa
Agaknya berjualan iman
Nereka memanggil-panggil jasad kalian
Akankah bayang-bayang bidadari
Hanya sebatas mimpi?
kalian bercerita pernah tersesaT
di ladang Tuhan tak kalian tahU
masih saja sempat maraH
Tuhan telah memberi nyawA
kau tak mau hidup, mati pun segaN
tanahtuhan, Maret 2008
pada airmata kekasih,
berkaca
laplah buliran air melembab pipimu
kekasih sudah tak pandai memetik gitar
menohok tuts-tuts piano, meniup seruling, memukul telempong
jemari rapuh
patah-patah
lapuk
ketika jamah
rengkuh hatimu
arimata kau kekasih
bergulir ke jantung
basah-basah
tanahtuhan Maret 2008
sepi
orang-orang berhenti bernyanyi
siang berkabut telah larut
dawai gitar putus dimakan tikus
seruling jatuh ke lantai pecah, terbelah
listrik padam, lampu sisik habis minyak
jam berhenti berdetak
bersama sajak
teman telah pergi diangkut Tuhan
bersama cerita
bersama mimpi
angin tertahan di beranda
rokok tinggal puntung
gemerisik air di kamar mandi tersumbat
api mengabukan kayu di dapur sendirian
ibu tak pulang
ayah telah merantau jauh, di negeri Tuhan
cicak di kamar berhenti berkejaran
si betina tak datang mengantarkan ciuman
bunga dalam pot berhenti mekar
kupu-kupu diawetkan orang di museum
tak ada cengkrama di beranda
semua berhenti bercerita
takut terluka
tanahtuhan, 2008
apiku
apiku menghanguskan hatimu
dik, mungkin temanmu punya air
untuk mematikannya
apiku membakar marahmu
dik, kau putuskan tali kuikat
pada jantungmu
kau bilang sudah lama, sudah lapuk,
sudah tak berguna
apiku menghangatkanmu, membakar mukaku
apiku memasak sekerat luka
kau, aku tahu api itu panas
berhentilah bermain api
aku tak mau terbakar lagi
tanahtuhan, Maret 2008
dusta mataku, matanya
Malu aku menatap diriku di matamu
Remuk, tak berbentuk
Kau tak mengenalinya
Apalagi aku
Dusta mataku, matamu,
Matanya
Kau meludahi kepalaku
Mulutmu bergula
Semu-semut beriring ingin menghisap manismu
Terperanjat
Terpukau
Tapi aku tak bisah cegah, tak bisa berpaling
Aku terlarut dalam cahaya matamu
Naif, lugu tapi ada ragu
Ini cerita konyol dari negeri tolol
Kanak-kanak, manja
Aku kehilangan bentuk yang kucari
Matamu buta, mataku juga tak bisa melihat
Tampatmu berkaca
tanahtuhan, Maret 2008
kau telah dicuri kupu-kuupu
Apa yang dulu kau takutkan terjadi
Kutinggalkan kau sendirian
di ladang sunyi
tanpa nyanyian semilir angin, suara daun-daun, sajak burung-burung
Ya, ladang jagung ayahku
Tetaplah menunggu di situ
Tapi mungkin aku tak akan pernah kembali
Kau pun telah tak setia menunggu
Kau biarkan dirimu dibawa kupu-kupu itu
Terbang ke sarangnya.
tanahtuhan, Maret 2008
Kaukah ibu?
Kaukah ibu?
nyanyikan tembang termanis, untukku
selama tak pernah kulupa
Kaukah ibu?
perempuan tiap kali kulihat
di beranda rumah makan, di muka swalayan,
di jalan-jalan pasar, di depan masjid,
meminta-minta
Kaukah itu ibu?
gadis menculik hatiku
dengan tarian gemulai, nyanyian serunai
Kaukah itu ibu?
mengajarkanku merawat cinta
Kaukah itu ibu?
tempatku menyusu, berbagi, meninta
Kaukah itu ibu?
perempuan memanjakanku, membuat tersenyum-tersenyum, belaian kasih sayang
perjuangan melahirkan ibu yang lain
Kaukah itu ibu?
membuatku jatuh padamu, pada Tuhan, pada lembutmu, pada halus hatimu, dan pada luka yang melukaiku, kaukah itu ibu?
tanahtuhan, Maret 2008
sahabat sehari-hari
sahabat itu, orang yang banyak mengukir cerita
mereka bermusik, bermalam gerimis, berapiunggun, bermalam di puncak mata
sahabat itu, air merendam rumahrumah, menghanyutkan segala citacita orang rendah
buku-buku sekolah hancur, di toko tak murah
sahabat itu, pengemis meminta-minta di tengah pasar, di wajah rumah makan, di muka swalayan, di rumah-rumah yang didatanginya
sahabat itu, api yang menghanguskan, membakar rumah, gedung-gedung, pasar, hutan, dan rumah tangga
sahabat itu, pejabat kita yang sangat lincah bermain uang di kantornya, menjual dirinya untuk uang, istri, anak-anak, untuk membeli barang-barang mewah.
sahabat itu, orang-orang bermuka sama seperti duburnya. Menjual dirinya pada malam-malam liar dan dingin
sahabat itu, orang-orang yang merintih tak makan-makan, gizi tak cukup, anak-anak menderita busung lapar, gizi rendah, nyamuk menyerang, asap-asap rokok setiap saat merasuk paru-paru. Rumah sakit banjir pasien, dokter tak ada yang menganggur.
Sahabat itu, orang-orang yang pintar mengambil muka bosnya, muka atasannya, muka dosennya, muka gurunya, muka ibunya, muka bapaknya, muka pacarnya, bahkan muka Tuhannya.
Sahabat itu, ibu ditinggalkan di rumah oleh bapak setiap malam. Kasur tetangga lebih empuk
Anak kecil telah berani mencium lawan jenisnya, mengajaknya berkencan, mandi berdua, makan berdua, sekolah berdua. Selalu berdua-dua ke mana-mana
Sahabat itu sama seperti kita
tanahtuhan, 2008
pada airterjun
pada air terjun yang indah, kulihat bayangMu
aku tak bisa memelihara cintaMu
pada air terjun meluncur senantiasa
terkenang nikmatMu selalu mencurah-curah, tapi kau tak pernah meminta dipuja,
meminta di hamba-hamba
kenapa air itu tak pernah
berhenti mengalir?
Kau biarkan orang-orang semakin larut dalam dirinya sendiri, dalam dunianya, dalam malamnya, dalam siangnya, dalam kelupaannya
seperti aku manusia membuatMu marah
pada gemuruh airterjun, kudengar bisikMu,
Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk itu
tuntulah jalanku sering tersesat, melanggar rambu-rambuMu.
Tuhan, di jalan lengang aku sering berpaling
tanahtuhan, Maret 2008
Hancur, hancur…
ia tak penat berlari mengejar waktu tertinggal
ia telah menumpahkan garam ke laut
malam membawa cerita kelam
oi, hujan-panas menyakitkan kepala
bapaknya tertanam di penjara setelah tertangkap KPK di ruang kerjanya.
ibunya meminta-minta dari rumah-rumah
kakak perempuannya sering ke luar malam
angin jahat telah menghamilinya
sejak ia tersangkut di surga
geliatnya kanak-kanak di ranjang lelaki asing
di mana saja ia dipanggil lewat hape
ia telah rusak, “oi telah rusak!” teriaknya pada gerimis turun ketika malam merangkak, menemuinya di kamar bersama sekerdip lilin
kehabisan pelita di mamah api
ia memetik rokok dalam kepala yang terbang
mungkin ia sudah larut dalam hisapan demi hisapan daun ganja yang dikasih temannya cuma-cuma di lepau tempat ia bermain judi, memasang togel. Ia memimpi
Tapi sia-sia.
Tanahtuhan, April 2008
ikan aquarium
Ia mencintai laut;
ikan-ikan terus saja menari, bernyanyi, mungkin di aquariummu terlalu sempit dan sesak. Ingin pulang teringat teman-temannya di laut.
Ia mencintai laut;
Tempat ia bermain kejar-kejaran dengan kail nelayan. Mengendap-endap mempermainkan mata kail nalayan itu.
Ia mencintai laut;
Karena habitatnya di
Ia mencintai laut; mencintai tangan yang menjamah kulitnya, mengajaknya bercinta, bermain, berbagi cerita. Tapi ia tinggal sendiri dalam kotak kaca yang penuh dusta
manusia telah memperalatnya dengan kecantikan warna sisiknya, dan gemulai tarian ekornya. “kapan aku akan dipanggil Tuhan?” katanya pada gelembung air yang memberinya nafas dan kepada kerang-kerang mati, juga tumbuh-tumbuhan laut pura-pura.
tanahtuhan, April 2008
bunga sepi
mukamu layu
angin berjalan dengan ratap-ratap hujan
di pasir berserakan
menuliskan matahari
menggambar dirimu dalam sendiri
hening dan pelita lilin terbakar di meja
sepotong
bercerita dengan suara angina bersemilir
dan gerumit telinga
ia, adiknya bertanam cinta di ladangmu
bekas bunga berhenti bersemi, gugur
ke tanah lembab tanpa sebab
ia tak berhenti bertandang mengantarkan kabar
pada musim lain yang tak dikenalnya
mereka terlupa pada kata yang mengantarkannya
ke depan jendela perhentian
semenjak itu ia kembali bertanam bunga di ladang sepi. Ia bercinta sendiri di
berdiuman bau daun mersik dan bunga layu
taman seberang rumah
tapi ia tak boleh memetiknya
takut berdarah, bunga berduri dan merah
bibirnya pucat menanti ciuman kedua!
Berlalu;
Lagi rindu
Mawar di beranda
Punah dipetik orang lalu.
tanahtuhan, April 2008
hujan di april
hujan, berhentilah membuat banjir
telah banyak cerita yang hanyut ke hilir
terseret arusmu
hujan berhentilah membasahi tubuhku
sudah terlalu tua dan gigil
tulangku terasa ngilu dijamahmu
hujan berhentilah membacakan syair
untukku, karena sudah berhenti bersajak
hatiku terlanjur dilukanya
sajak berteriak di telingaku tak pekak
hujan berhentilah turun
untukku demimu aku terluka hujan
kecelakaan besar menorehkan
pada tempat tersulit untuk berkata:
banjir menelan rumah-rumah
membenamkan sekolah-sekolah
memporadakan angan-angan
di sawah padi rusak,
di kolam ikan lepas
impian putus
o….hujan, kembalikanlah hari mereka
yang telah hilang bersamamu.
tanahtuhan, April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar