Sabtu, 14 Juni 2008

sajak-sajak perih

Tengadah ke Langit

Tafakur ke Bumi

-Fakir

Sesuatu berbisik dalam dirinya, kala langit merah. Retak terbelah. kau datang memecah buih di gelombang menepi. Ia dengan langkah sendat-sendat mengumpulkan sisa remah. Kelopaknya menguning. Ranggas. Hatinya merutuk janji hujan jatuh dalam sakunya.

Di tengah kota-kota yang miskin tadi malam, di sana ia membenamkan siang-malam dari tangan tengadah ke wajahmu. Dari tuhan menjatuhkan hujan membasuh dirinya menjajakan secartik kertas bertuliskan; “bantuan anak yatim” hatinya teriris-iris.. kepingan demi kepingan berharap jatuh ke siang yang gerhana. Lalu agin berpesan, “pulanglah ke sarang angin, kan kuangkut kau pulang ke singgasana!

Padang Juni 2008

telapak

Telapak telah mencatat sajak dalam langkahnya.

Hari ini tak seperti kemaren, kau tersenyum pada matahari. Jalan-jalan ke Tuhan lengang. Sembahyang rumput, orang-orang jarang bertandang ke rumah.

Jalan lengang tak tampak wajahnya berkata hari masih terbenam.

Padang, 2008

Sajak sakit hati

-nt

Tak ada yang bisa kuceritakan tentang warnamu yang kelabu. Lihat langit telah merah. Kau tergantung di wajahmu ada letih.

Hari separoh mati di genggamanmu yang kehilangan kata-kata untuk bercerita. Tentang sesuatu yang hilang tadi pagi. Kau menepukku dengan cerita yang tak sepantasnya kau katakan.

Telah usang kata-kata di lidah kelumu. telah kehabisan bisa.

2008

suatu pagi

suatu pagi bunga malu-malu mekar

suatu pagi embun perlahan dibakar matahari

suatu pagi ibu-ayah bertanam padi

suatu pagi mimpi mengerikan malam tadi

suatu pagi berangkas tetangga dibobol maling

suatu pagi penjaja pengantar koran

suatu pagi gadis berharap matahari

suatu pagi dari rencana tengah malam

suatu pagi diari kembali ditulis kesedihan

suatu pagi kemerdekaan dipenjara

suatu pagi televisi menayangkan bencana

suatu pagi korupsi tergelar di perkantoran

suatu pagi carut marut di pasar

suatu pagi jalan-jalan macet

suatu pagi orang-orang bertebaran mengais rejeki

suatu pagi ada cerita tak terlukiskan kemaren

suatu pagi moral semakin di jual dipinggiran jalan

suatu pagi tugas kemaren terbengkalai

suatu pagi seperti menemukan jalan buntu

suatu pagi ada yang kehilangan kepala

Bumi Imam Bonjol, Padang, Januari 2008

kesunyian jendela matamu

tengah malam, laut tenang di jendela matamu

kerdip lengang dan nyanyian pagi,

nyanyian petang, nyanyian senja.

(burung-burung berhenti berdendang

bersedih, sarangnya telah dipunahkan badai yang kau kirim senja tadi)

sejak lama aku jatuh di kedua sunyi matamu

sinarnya membuat gagu

tak perlu kau terima hati berceceran ini

biarlah ditangkap angin

ditenggelamkan air

nanti kau berbencana, pudar, gusar

telah airmata mengalir

hanyutkan di waktu sebentar.

kau menggelepar di malam buta

bercerita tentang cinta

meratapi perpisahan

perasaan terapung di kepala

mulut tertahan bicara

sunyi hati terbakar kesedihan

malam pun tak ada bintang memberi kerlip

atau bulan benderang

atau jejangkrik berdendang

pada malam hanya aku sendiri yang kau temukan tenggelam. Larut menimang gerimis

Studio Senja, Padang, Januari 2008

cermin rengkah

takkan kembali

menunggu bayangan memudar

cermin pecah

hari berkejaran mengusung belulang

suatu malam begitu mengerikan.

mimpi buruk, ia harus berhenti bercerita

mulutnya hancur di cermin

malam larut. Anak-anak sudah lelap

nyanyian nina bobok dan dongeng terdengar bergetar. Dari mulut ketakutan.

di halaman anjing menggonggong

sapi melenguh. Hujan berkejaran di atap

pada ruang tamu sendiri,

ia menyusun dirinya dalam pecahan cermin bertaburan.

wajahnya berkeping menjadi partikel-partikel

hilang dalam pekat cahaya malam

ia merangkai wajah baru

kamar pertama, Padang, Januari 2008

umpama aku

Aku laut menenggelamkan kau

Pada dingin dasarku, tenang jiwaku

Aku angin menerbangkan kau

Pada negeri tak bertuan

Aku api membakar kau

Pada esok tak sempat kau hitung

Aku nyanyian menghibur kau

Pada luka berkepanjangan

Aku airmata kau tumpahkan

Pada musim perpisahan, kau benci

Aku lukaluka lama kau

Sejak siang sajak terbentang

Aku ingin tak seperti siang-malam, hitam-putih

Rajin-malas, kucing-anjing,

Padang, Januari 2008

kupu-kupu cantik menari-nari di pelupuk matamu

ia ingin menyeberang dunia kelam

sudah kucegah dirinya menjauh, melepaskan tubuh

dari genggaman waktu lain

bahkan malam sempat mendongeng tidurnya

malam lelah tak ada kerdip bintang-gemintang

ia terus berjalan susuri taman-taman bunga malam perlahan menuruni ciuman angin

berhembus dari angan, ia cinta tengah malam

malam tuak. Ia lelap dinyanyikan kupu-kupu

paha tersingkap, mata nyalang

di genggaman. Gemetar ia memetik cinta malam

tak mau mati gantung diri, kalau ingin menjauh

meninggalkan sendiri. Di rumah sunyi

ia menelanjangi kehadiran malam

seekor kupu-kupu menari-nari,

hendak ia tangkap

jemarinya bergerak-gerak. Hinggap pada mawar penuh duri

“Jangan jamah, nanti kau terluka,”

tapi kupu bersayap indah warna-warni diterpa lampu taman. Gemerlapan

dirinya terbang, menari bersama di angkasa. Berdansa, berpelukan

bermain cubit-cubitan atau pegang-pegangan.

Tapi angin membuat dirinya menggigil

Ia telah lama tak bicara

tentang malam penuh nyanyian, cerita dan tarian gemulai seperti kupu-kupu betina Matanya tegang

cantiknya kupu-kupu

Ia terjatuh dalam kubangan malam

Padang, Januari 2008

Jejak langkah lelah

Hari lelah hitung jejak langkah,

ada tercecer tak pernah dihitung

muka pesiang pada cermin retak, berdebu kecipak angin melambungkan angan

siang bertandang

lelap terkapar di tanah basah.

cium lukamu penat menanti penawar

kau berada dalam bayang, memudar hujan

bersama deras air dari langit. Petir menyambar

asal kau mengerti dengus hari-hari

mengajarkan berlari

bersama damai awan. Berlalu dengan tenang.

katakan padamu, siang tak selama terang

malam tak selamanya berbintang

pesankan pada ibumu menuai padi di sawah

matahari telah membakar punggungnya.

Padang, Januari 2008

lukisan pada dinding semalam

Kau menumpahkan airmata, menetesi hatiku

Angan terputus, waktu menyeyat luka

Goresan hatinya mengapung di wajah

Inginan menyudahi cita-cita lama

Ia tak siap mengarungi bahtera baru pada laut berbadai

Cuaca memburuk

Angin menderas membawa hanyut

Ia tak mau tinggalkan cerita manis di rumah

Sehingga tak mengerti

Untuk apa kau ukir lukisan di dinding semalam

Kalau akan menghancurkan tembok-tembok

Telah dibangun berdarah-darah

Waktu kau tertawa menatap bayangmu pada dinding itu

Tinggal merengkuh bayangmu

Kau tahu, kini sepilah mentertawakan

cerita ini

Tenteramlah kau bersamanya, di hatiku mengeram pesakit

Dari luka-luka kurakit mimpi

Akankah ada bayang-bayang baru menemani langkah hampaku

Cuma bayangan diriku menyepi.

Padang, 27 Januari 2008

sembilu lidah

tipis, tajam, lukai hati berdarah

sayatan nyisakan luka

lidah lunak

tak seperti kubayangkan

ketika lidahmu menyayat-nyayat hatiku

tak ada darah menetes

tak tampak pula robek luka

tapi sakitnya merasuk ke hulu,

pedih

perih

Padang, Januari 2008

Malas

leMas

Apes

Lelah

Akal

maSalah

TanahTuhan 2008

duh cantiknya, DARAHMU!

Sejarah diukir di dinding berlumut

Aku mau memprotesmu

Jantungku kau sobek-sobek cinta

Anak panah kau menembusnya

Kau tetap saja berkata:

Duh cantiknya, DARAHMU!

Tanahtuhan, maret 2008

Bingung

a n

l b

u e

b r

k

a

b

u

n

g

!!

Ap!!!!...

i, matamu sebentuk surga

i, aku larut dalam pandangan semu

i, mengajarkan tentang api

i, kemudian aku menghanguskanmu

i, semenjak kau pergi tak kembali-kembali

i, karena beranda hati sepi

i, nyanyian tlah usai malam-malam sepi

i, ada kau angkut jiwaku pergi

i, kehilangan nyawa pada jejak tertinggal

i, mau menjemputmu dengan tentara emosi

i, kau tunggulah di jendelamu setiap pagi

i, aku akan mengamen di wajahmu sunyi

i, biarlah mama mengusirku kembali

sungguhkah telah hapus di hatimu

setelah kau temukan sebentuk hati

lebih manja, suatu kisah pernah bercerita

tentang datang- perginya kau begitu saja.

i, kau salah, aku tak pernah goyah memelukmu

tanahtuhan, Maret 2008

onggokan sampah

Sejak kau mulai berbagi

Aku juga telah membelah jantungku sendiri

Matamu masih saja menggelitik geli

Pasti kau pikir aku juga akan mati tersakiti

Asal kau tau, aku terus bernyanyi

Hanyalah kau, tak lebih dari onggokan sampah !

Tanahtuhan, Maret 2008

tanahtuhan

Tempat kau terlempar dari surga

Adam dan Hawa telah menelan kuldi

Nenek moyang iblis itu merayunya

Alam tercipta tempat kalian bernaung

Hampa dari nyanyian

Dia tak pernah mencerca dan mengumpaT

meski selalu saja langkah ragU

iman-iman di dada goyaH

sebenarnya kau tanyA

dari dulu Dia TuhaN

Tempat kau berladang dosa

Agaknya berjualan iman

Nereka memanggil-panggil jasad kalian

Akankah bayang-bayang bidadari

Hanya sebatas mimpi?

kalian bercerita pernah tersesaT

di ladang Tuhan tak kalian tahU

masih saja sempat maraH

Tuhan telah memberi nyawA

kau tak mau hidup, mati pun segaN

tanahtuhan, Maret 2008

pada airmata kekasih,

berkaca

laplah buliran air melembab pipimu

kekasih sudah tak pandai memetik gitar

menohok tuts-tuts piano, meniup seruling, memukul telempong

jemari rapuh

patah-patah

lapuk

ketika jamah

rengkuh hatimu

arimata kau kekasih

bergulir ke jantung

basah-basah

tanahtuhan Maret 2008

sepi

orang-orang berhenti bernyanyi

siang berkabut telah larut

dawai gitar putus dimakan tikus

seruling jatuh ke lantai pecah, terbelah

listrik padam, lampu sisik habis minyak

jam berhenti berdetak

bersama sajak

teman telah pergi diangkut Tuhan

bersama cerita

bersama mimpi

angin tertahan di beranda

rokok tinggal puntung

gemerisik air di kamar mandi tersumbat

api mengabukan kayu di dapur sendirian

ibu tak pulang

ayah telah merantau jauh, di negeri Tuhan

cicak di kamar berhenti berkejaran

si betina tak datang mengantarkan ciuman

bunga dalam pot berhenti mekar

kupu-kupu diawetkan orang di museum

tak ada cengkrama di beranda

semua berhenti bercerita

takut terluka

tanahtuhan, 2008

apiku

apiku menghanguskan hatimu

dik, mungkin temanmu punya air

untuk mematikannya

apiku membakar marahmu

dik, kau putuskan tali kuikat

pada jantungmu

kau bilang sudah lama, sudah lapuk,

sudah tak berguna

apiku menghangatkanmu, membakar mukaku

apiku memasak sekerat luka

kau, aku tahu api itu panas

berhentilah bermain api

aku tak mau terbakar lagi

tanahtuhan, Maret 2008

dusta mataku, matanya

Malu aku menatap diriku di matamu

Remuk, tak berbentuk

Kau tak mengenalinya

Apalagi aku

Dusta mataku, matamu,

Matanya

Kau meludahi kepalaku

Mulutmu bergula

Semu-semut beriring ingin menghisap manismu

Terperanjat

Terpukau

Tapi aku tak bisah cegah, tak bisa berpaling

Aku terlarut dalam cahaya matamu

Naif, lugu tapi ada ragu

Ini cerita konyol dari negeri tolol

Kanak-kanak, manja

Aku kehilangan bentuk yang kucari

Matamu buta, mataku juga tak bisa melihat

Tampatmu berkaca

tanahtuhan, Maret 2008

kau telah dicuri kupu-kuupu

Apa yang dulu kau takutkan terjadi

Kutinggalkan kau sendirian

di ladang sunyi

tanpa nyanyian semilir angin, suara daun-daun, sajak burung-burung

Ya, ladang jagung ayahku

Tetaplah menunggu di situ

Tapi mungkin aku tak akan pernah kembali

Kau pun telah tak setia menunggu

Kau biarkan dirimu dibawa kupu-kupu itu

Terbang ke sarangnya.

tanahtuhan, Maret 2008

Kaukah ibu?

Kaukah ibu?

nyanyikan tembang termanis, untukku

selama tak pernah kulupa

Kaukah ibu?

perempuan tiap kali kulihat

di beranda rumah makan, di muka swalayan,

di jalan-jalan pasar, di depan masjid,

meminta-minta

Kaukah itu ibu?

gadis menculik hatiku

dengan tarian gemulai, nyanyian serunai

Kaukah itu ibu?

mengajarkanku merawat cinta

Kaukah itu ibu?

tempatku menyusu, berbagi, meninta

Kaukah itu ibu?

perempuan memanjakanku, membuat tersenyum-tersenyum, belaian kasih sayang

perjuangan melahirkan ibu yang lain

Kaukah itu ibu?

membuatku jatuh padamu, pada Tuhan, pada lembutmu, pada halus hatimu, dan pada luka yang melukaiku, kaukah itu ibu?

tanahtuhan, Maret 2008

sahabat sehari-hari

sahabat itu, orang yang banyak mengukir cerita

mereka bermusik, bermalam gerimis, berapiunggun, bermalam di puncak mata

sahabat itu, air merendam rumahrumah, menghanyutkan segala citacita orang rendah

buku-buku sekolah hancur, di toko tak murah

sahabat itu, pengemis meminta-minta di tengah pasar, di wajah rumah makan, di muka swalayan, di rumah-rumah yang didatanginya

sahabat itu, api yang menghanguskan, membakar rumah, gedung-gedung, pasar, hutan, dan rumah tangga

sahabat itu, pejabat kita yang sangat lincah bermain uang di kantornya, menjual dirinya untuk uang, istri, anak-anak, untuk membeli barang-barang mewah.

sahabat itu, orang-orang bermuka sama seperti duburnya. Menjual dirinya pada malam-malam liar dan dingin

sahabat itu, orang-orang yang merintih tak makan-makan, gizi tak cukup, anak-anak menderita busung lapar, gizi rendah, nyamuk menyerang, asap-asap rokok setiap saat merasuk paru-paru. Rumah sakit banjir pasien, dokter tak ada yang menganggur.

Sahabat itu, orang-orang yang pintar mengambil muka bosnya, muka atasannya, muka dosennya, muka gurunya, muka ibunya, muka bapaknya, muka pacarnya, bahkan muka Tuhannya.

Sahabat itu, ibu ditinggalkan di rumah oleh bapak setiap malam. Kasur tetangga lebih empuk

Anak kecil telah berani mencium lawan jenisnya, mengajaknya berkencan, mandi berdua, makan berdua, sekolah berdua. Selalu berdua-dua ke mana-mana

Sahabat itu sama seperti kita

tanahtuhan, 2008

pada airterjun

pada air terjun yang indah, kulihat bayangMu

aku tak bisa memelihara cintaMu

pada air terjun meluncur senantiasa

terkenang nikmatMu selalu mencurah-curah, tapi kau tak pernah meminta dipuja,

meminta di hamba-hamba

kenapa air itu tak pernah

berhenti mengalir?

Kau biarkan orang-orang semakin larut dalam dirinya sendiri, dalam dunianya, dalam malamnya, dalam siangnya, dalam kelupaannya

seperti aku manusia membuatMu marah

pada gemuruh airterjun, kudengar bisikMu,

Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk itu

tuntulah jalanku sering tersesat, melanggar rambu-rambuMu.

Tuhan, di jalan lengang aku sering berpaling

tanahtuhan, Maret 2008

Hancur, hancur…

ia tak penat berlari mengejar waktu tertinggal

ia telah menumpahkan garam ke laut

malam membawa cerita kelam

oi, hujan-panas menyakitkan kepala

bapaknya tertanam di penjara setelah tertangkap KPK di ruang kerjanya.

ibunya meminta-minta dari rumah-rumah

kakak perempuannya sering ke luar malam

angin jahat telah menghamilinya

sejak ia tersangkut di surga

geliatnya kanak-kanak di ranjang lelaki asing

di mana saja ia dipanggil lewat hape

ia telah rusak, “oi telah rusak!” teriaknya pada gerimis turun ketika malam merangkak, menemuinya di kamar bersama sekerdip lilin

kehabisan pelita di mamah api

ia memetik rokok dalam kepala yang terbang

mungkin ia sudah larut dalam hisapan demi hisapan daun ganja yang dikasih temannya cuma-cuma di lepau tempat ia bermain judi, memasang togel. Ia memimpi kan hari yang hilang itu.

Tapi sia-sia.

Tanahtuhan, April 2008

ikan aquarium

Ia mencintai laut;

ikan-ikan terus saja menari, bernyanyi, mungkin di aquariummu terlalu sempit dan sesak. Ingin pulang teringat teman-temannya di laut.

Ia mencintai laut;

Tempat ia bermain kejar-kejaran dengan kail nelayan. Mengendap-endap mempermainkan mata kail nalayan itu.

Ia mencintai laut;

Karena habitatnya di sana, tempat ia mencari kehidupan bebas. Tanpa penjara, tanpa luka

Ia mencintai laut; mencintai tangan yang menjamah kulitnya, mengajaknya bercinta, bermain, berbagi cerita. Tapi ia tinggal sendiri dalam kotak kaca yang penuh dusta

manusia telah memperalatnya dengan kecantikan warna sisiknya, dan gemulai tarian ekornya. “kapan aku akan dipanggil Tuhan?” katanya pada gelembung air yang memberinya nafas dan kepada kerang-kerang mati, juga tumbuh-tumbuhan laut pura-pura.

tanahtuhan, April 2008

bunga sepi

mukamu layu

angin berjalan dengan ratap-ratap hujan

di pasir berserakan

menuliskan matahari

menggambar dirimu dalam sendiri

hening dan pelita lilin terbakar di meja

sepotong surat dari negeri jauh

bercerita dengan suara angina bersemilir

dan gerumit telinga

ia, adiknya bertanam cinta di ladangmu

bekas bunga berhenti bersemi, gugur

ke tanah lembab tanpa sebab

ia tak berhenti bertandang mengantarkan kabar

pada musim lain yang tak dikenalnya

mereka terlupa pada kata yang mengantarkannya

ke depan jendela perhentian

semenjak itu ia kembali bertanam bunga di ladang sepi. Ia bercinta sendiri di sana

berdiuman bau daun mersik dan bunga layu

taman seberang rumah

tapi ia tak boleh memetiknya

takut berdarah, bunga berduri dan merah

bibirnya pucat menanti ciuman kedua!

Berlalu;

Lagi rindu

Mawar di beranda

Punah dipetik orang lalu.

tanahtuhan, April 2008

hujan di april

hujan, berhentilah membuat banjir

telah banyak cerita yang hanyut ke hilir

terseret arusmu

hujan berhentilah membasahi tubuhku

sudah terlalu tua dan gigil

tulangku terasa ngilu dijamahmu

hujan berhentilah membacakan syair

untukku, karena sudah berhenti bersajak

hatiku terlanjur dilukanya

sajak berteriak di telingaku tak pekak

hujan berhentilah turun

untukku demimu aku terluka hujan

kecelakaan besar menorehkan

pada tempat tersulit untuk berkata:

banjir menelan rumah-rumah

membenamkan sekolah-sekolah

memporadakan angan-angan

di sawah padi rusak,

di kolam ikan lepas

impian putus

o….hujan, kembalikanlah hari mereka

yang telah hilang bersamamu.

tanahtuhan, April 2008

Tidak ada komentar: