Sabtu, 14 Juni 2008

ciloteh kamar

Pitih*

Kesibukan memang membawa manfaat besar bagi kita. Namun kesibukan tak jarang menghilangkan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Bekerja adalah suatu cara untuk memperbaiki kehidupan. Bekerja akan menghasilkan pitih, lalu pitih adalah suatu materi yang sangat krusial dan penting. Segalanya butuh pitih. Dami mencapai apa yang dinamakan suatu kata yang terdiri dari gabungan empat huruf tersebut. Orang kehilangan saudara demi pitih, menghalalkan segala cara demi kata itu, berfikir untuk mendapatkan benda itu, membanting tulang tak tahu siang, tak tahu malam hanya demi pitih. Bukankah kita sepakat mengatakan pitih adalah benda yang tak dapat tidak. Coba saja kalau kita lagi bokek, secara otomatis kita telah mengidap penyakit kanker alias kantong kering. Pengamen mau bekerjaran di lampu merah hanya untuk mendapatkan pitih. Begitu juga para koruptor jalan mudah mendapatkan pitih. Namum kebahagian dari hasil pitih curian itu hanya sesaat sebelum terjerat dalam pemeriksaan KPK. Kalau ternyata ketahuan telah menyelahgunakan pitih maka pengadilan akan bertindak dan jeruji bui akan ketawa ngakak.

Pitih sebagai hasil dari kebudayan manusia yang berawal dari sistem perdagangan zaman dahulu dengan istilah barter, tukar menukar barang, namun semakin dipandang suatu unsur kepraktis dan simpel maka muncullah pemikiran dari peradaban manusia untuk menciptakan alat tukar yang sah, sehingga manusia tak repot lagi kala berjual-beli di pasaran. Kala menginfestasikan penghasilan juga telah diciptakan suatu bank pitih yang aman. Kehadiran pitih sangatlah besar manfaatnya bagi manusia. Namun pitih tak hanya sebatas materi yang dinilai begitu penting, namun ada yang lebih penting lagi dalam substansi pitih itu sendiri. Pitih bisa mengukur taraf pennghasilan perorangan setiap hari atau perbulan dengan besarnya bilangan nominal gaji atau upah yang diterima dalam dedikasi terhadap pekerjaan yang sudah dijalani.

Namun sisi buruk dari pitih itu sendiri sebenarnya manusia telah diperalat dengan materi yang satu ini. Manusia belajar demi pitih, pengusaha membuka usaha demi pitih, pejabat ke kantor demi pitih, petani membanting tulang ke sawah demi pitih. Pokonya semua manusia mengimpikan pitih. Seakan pitih menjadi suatu barang yang tak kalah sama pentingnya dengan keperluan perut untuk makanan. Seperti tanaman membutuhkan air. Manusia akan menjadi layu jika tak mendapatkan penghasilan yang layak untuk keperluannya. Maka lahirlah manusia-manusia susah yang melata setiap saat untuk mendapatkan pitih. Sehingganya ada pula yang memanfaatkan anaknya sendiri untuk mendapatkan pitih. Mungkin sering kita temukan di mana-mana di indonesia ini. Orang tua sangat pintar memanipulasi anak dengan menjadikan ladang pitih. Alangkah mirisnya hari kita, ketika kita menyaksikan seorang anak cacat ditidurkan di tengah pasar yang ramai orang dan kendaraan lalu lalang. Demikian pula dengan pengamen cilik jalanan mengamen atas perintah orang tua mereka. Masya Allah! Begitukah orang tua mereka berladang di punggung anaknya. Apakah orang tua itu tidak malu mempertontonkan kekurangan anaknya kepada khalayak ramai? Entah apa yang ada dalam kepala orang tua itu. Bisa saja kita nilai bahwa yang ada dalam kepala itu adalah pitih untuk makan sehari-hari.

Manusia sebagai aktor dari sebuah drama kehidupan bisa saja memilih peran terbaik untuk diperankan. Kembali kita disentakkan dengan banyaknya orang-orang cacat yang bekerja di tempat keramaian, di pinggir jalan, di depan rumah makan,di depan swalayan, menampungkan ember, tangan kurus mereka. Suatu cerminan dari kota ini, bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang sangat memerlukan perhatian dan kemurahan hati kita untuk kelangsungan hidupnya. Apakah hanya lewat jalan seperti itu mereka bisa mendapatkan pitih? Seperti apa kita sebagai sesama manusia, sesama saudara, bukankah kita dianjurkan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Bukankah mereka yang lemah, cacat dan tak berdaya itu saudara kita? Tuhan dalam Q.S al-Maidah: 2, … dan tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Rasa apa sebenarnya yang telah hilang dari dalam diri kita. Sehingganya kita memandang perbuatan memanipulasi anak atau menterlantarkan orang tua, sanak saudara, kemenakan, adik atau pun kakak. Tak adakah pekerjaan lain yang tidak menampakkan bobroknya di kota ini. Manusia bisa memandang bahwa kehadiran orang-orang peminta-minta di pasar atau di tempat manapun lokasinya akan memperlihatkan bahwa negeri yang makmur ini ternyata belum mampu membuat manusia sejahtera, makmur sentosa. Kalau kita perbandingkan sungguh sangat banyak orang kaya di negeri ini berjiwa kemanusiaan halus. Apakah mereka tak merasa terpanggil untuk merubah nasib dengan lebih baik. Seperti Tuhan mewanti-wanti dalam Q.S Ar-Ra’d: 11 “Sesunggnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan”. Artinya negeri tercinta ini akan tetap dipenuhi oleh orang-orang yang hidup dari uluran tangan saudaranya, hidup dari hasil mengompas saudaranya, dari hasil memeras keringat pekerjanya, berladang di punggung saudaranya, menunggangi rakyat dari atasnya.

Dewasa ini telah tercipta generasi dan manusia-manusia yang cuek dan ego. Tak lagi terasa lagi hidup kebersamaan yang kuat. Orang-orang sibuk memperkaya diri sendiri dengan pitih. Sibuk juga mempersiapkan diri beribadah untuk kehidupan di hari esok namun tak sedikit kita melengahkan kewajiban kita bersama untuk membantu sekedar meringankan beban meteri saudara kita. Orang-orang lebih dihadapkan pada sosok-sosok idola. Orang-orang pada ingin dikenal, orang-orang pada ingin menjadi kaya. Sementara tidakkah kita memperhatikan secercah mereka yang harus mati-matian menampungkan tangan di mana mereka mendapatkan belas kasihan serta uluran tangan dan bantuan dari kita. Mungkin mereka adalah bagian dari kita yang juga tertumpang rejeki mereka pada kita. Namun akhirnya fenomena apa lagi yang akan memaraki negeri tercinta ini selanjutnya?***

Catt*

Pitih = uang

Dimuat di Tabloid Lingkar Pena

Tentang penulis:

Zul Afrita adalah mahasiswa sastra Inggris, Fak. Ilmu Budaya-Adab IAIN “IB” Padang aktif di FLP Sumbar. Pimpinan umum Tabloid FLP Lingkar Pena di unit IAIN “IB” Padang, membina kelompok diskusi di kampus sejak tahun 2004-sekarang.

Tidak ada komentar: