Sabtu, 14 Juni 2008

cerita OK Punya GW

Suara-suara Taman

DEMI bunga-bunga layu di taman ini. Demi angin berhembus, ingin kukabarkan tentang hari-hari penuh nganga luka. Bertahun-tahun menahan erang. Menahan berjuta sakit hati. Namun orang-orang tetap saja ketawa di atas luka-luka ini. Capek rasanya mendengar semua cerita bual sok romantis mereka. Setiap hari pasangan-pasangan manusia mengencaniku. Kau tahu pendengaranku lebih tajam dari manusia. Tapi kutak kuasa mengedaratkan hasrat-hasrat terpendam itu. Demikianlah kenapa kukatakan sama kau, aku punya kelemahan.

Hatiku begitu lembut dan halus bergesekkan tiap kali saksikan pasangan-pasangan manusia bergonta-ganti menduduki tubuhku. Mereka saling melepas rindu, menenangkan pikiran, berbagi cerita, berenjoy ria, bertamasya bersama orang-orang tercinta di taman bunga cantik ini. Orang-orang datang saling mereguk kenikmatan di taman ini. Oh, bukan keindahan tubuh-tubuh bunga saja, tapi ada sesuatu di kepala mereka. Di sini, di taman ini mereka telah banyak menimbun arang. Seperti biasa, banyak yang tertumpah. Kini saja lihat begitu ramai anak-anak muda datang bersantai. Menikmati keindahan bunga-bunga, lenggak-lenggok gadis-gadis abg, sekalian cuci mata!

Cahaya lembut mentari mengusung senja. Sementara angin pantai hembuskan kesejukan. Tadi siang kota usai dibasuh hujan. Warna-warni bunga mekar nampak indah sekali, ada merah, kuning, putih, ungu, merah jambu menambah kesan taman Asmaradani memang romantis.

Da, kapan aku dilamar?” ungkap gadis buka kepala dengan suara manja di dada lelaki berbadan bidang. Gadis memainkan jemarinya di dada si lelaki. Dan jemari lelaki bermain di rambut lurus, hitam legam gadis.

“Sabar sayang, nanti kita akan ke pelaminan.”

Huh dasar lelaki! Dulu kau juga mengatakan kepada pasangan kencanmu bernama Maria. Kini kau tidak tahu ia hidup penuh kelabu. Hari-harinya begitu kelam. Semenjak kau bersumpah demi pelaminan, demi taman ini, demi rembulan, demi seluruh bunga-bunga yang menyaksikan gelagat manjamu di sisi Maria ketika itu.

Kau jangan terlalu banyak membual dan merusak gadis-gadis! Tapi bagaimana kuingin teriakkan luka-luka perempuan ke kupingmu. kutak mampu, aku tak punya mulut, tak punya lidah, gigi, dan semua alat ucap. Namun terkadang ingin aku bercerita kepada semut beriring, kepada rerumputan bergoyang, pada bunga-bunga bermekaran di taman, pada sampah-sampah, pada puntung-puntung rokok, atau bahkan pada kaleng-kaleng kosong tercampak begitu saja.

Lihat lelaki itu, pasti bakal terjadi bencana lagi di sini! bisik Mawar pada rekan-rekannya.

Bencana, bencana apa? sela Melati dengan sangat serius menanggapi perkataan Mawar. Bersikap tenang sambil sesekali mencuri pandang ke arah pasangan muda-mudi yang berjarak kira-kira tiga meter dari mereka.

Lelaki itu, lelaki yang sering ke sini. Ia perusak bunga-bunga!

Maksud kau? sela bunga-bunga lain serempak.

Kau lihat tangannya mulai liar.

Sssst, jangan keras-keras!

Seorang Bapak empat puluhan berkacamata minus, bertopi hitam, tukang jualan buah. Ia mendorong gerobak buahnya mendekati mereka. Perlahan sekali ia mendekat. Berharap jualannya bakalan mereka beli.

Ada bingkuang, Pak?” tanya si lelaki bermaksud untuk menghilangkan kekikukannya. Bapak melihat kelakuannya. Sangat cepat ia melepaskan genggaman tangannya.

Ada, berapa?”

“Kedondong satu, saos satu, cemangka, pokoknya satu-satu ya, Pak.”

Bapak mengambilkan pesanan lalu memasukkan ke dalam kantong plastik, sambil mencuri pandang terhadap geliat mereka lewat sudut kacamata minusnya.

“Tak usah malu-malu. Bapak dulu jua muda, Nak.”

Husss! Bukan malah melarang. Akh! Muak aku melihat tampang Bapak ini, ledek Mawar kesal. Mengubur semua simpatinya yang sudah lama tertanam. Bunga-bunga lain menatap bingung.

Bapak itu kembali terkenang dengan masa mudanya yang manja. Bergelut dengan kelembutan dunia perempuan. Sehingga tak mudah ia melupakan kisah-kisah romantis dengan perempuan yang kini entah dimana. Perempuan itu bukan istrinya sekarang. Dan ia sempat berpikiran bahwa istrinya bekas sentuhan lelaki lain pula. Entah berapa lelaki telah menyentuhnya. Tapi ia tetap beranggapan baik, istrinya Maimun tak pernah berbuat demikian.

Dalam menung yang panjang sang Bapak masih menyaksikan gelagat pasangan insan tadi dari sebalik kaca mata. Di kejauhan Ia membuka topi penutup kepalanya yang ditumbuhi uban satu-satu. Ia bersandar, pikirannya menerawang jauh, memikirkan masa depan Nani, anak gadis semata wayangnya. Sekarang mulai beranjak dewasa. “Jangan sampai kau seperti mereka, nak!” gumamnya

Ia membuang pandangan ke sudut taman. Bermaksud hendak melenyapkan kenangan masa mudanya. Persis di sudut taman. Ia menoleh ke sudut berlawanan, di sana beberapa pasang anak muda lain tengah bercanda manja.

“Anak muda, anak muda…,” rutuknya dalam hati, lalu membuang pandangan ke arah lain. Tak ada tempat tersisa untuk bisa menyaksikan pemandangan yang lebih bersih.

Gadis di sisi lelaki tadi tak henti bercerita.

“Aku tak mau selamanya seperti ini, Da[1],” desis gadis memandang sayu ke mata lelaki. Mata mereka beradu. Dari situlah mulanya bius-bius cinta merasuk dan meresap masuk, seperti tanah meresap segalanya. Perlahan sekali. Begitulah bibit cinta beranak pinak lantas membesar dalam kisi jiwa gadis. Berbagai kata-kata rayuan telah banyak ditelan, hingga dunia terasa taman, berbunga-bunga. Indah sekali!

Tapi siapa kira hati lelaki bejat ! Ingin kukatakan kepada kau gadis. Kau terlalu baik untuk lelaki ini. Ia tak pantas mendapatkan kasih-sayang darimu. Kamu itu cantik. Parasmu ayu, matamu bersinar indah. Tapi kenapa kau begitu murah?

Iya, laki-laki itu sama seperti kumbang, mereguk sari dan manisan bunga, lalu terbang menghilang seperti tiada dosa! Kata Mawar

Ya, Sokong bunga-bunga lain yang telah layu di tangkainya.

Mereka hanya bisa pasrah setiap kali kumbang-kumbang hinggap menghisap sari, mencumbunya. Seakan bunga-bunga itu ingin membisikkan ke telinga si gadis bagaimana sakitnya dirusak, dimadu. Tapi karena bunga terlalu lemah, sehingga tak bisa bersikeras ketika kumbang-kumbang menyerbu, menghisap sari, mengidus berkali-kali tubuh bunga. Merekahkan kelopak-kelopak cantik bunga. Sehingga suram. Mungkin gadis ini belum merasakan bagaimana sakitnya dihujam cinta, disiksa, disakiti, direguk lelaki dahaga. Setelah mereka dapatkan mereka tinggalkan begitu saja.

Lelaki hanya mengharapkan sarimu saja,” sambung bunga lain. Bunga-bunga terus menyaksikan mereka.

Berapa usianya? tanya Mawar tiba-tiba setelah mencoba memeriksa wajah gadis dengan seksama.

Dua puluhan kali, tebak Angrek sekenanya.

Aku pikir segitu, Melati menyambung.

Di kejauhan cahaya sunset mulai mengembang di pantai. Perlahan sekali. Memerah, semerah pipi gadis. Cuaca yang diam membuat warnanya pudar kemalu-maluan. Seperti remasan-remasan tangan lelaki. Burung-burung hinggap di sebatang pohon. Bercericit sambil mengepak-ngepakkan sayap.

Gadis merasa risih ketika kehangatan tubuh lelaki kian ia rasakan. Deru nafas tertahan memburu terdengar jelas dari dalam dadanya. Dada gadis pun berdetak dengan tempo gamang. Detak gagu yang kacau. Gadis gagap untuk menyikapi kelakuan lelaki. Terkadang ia rasakan batinnya berontak, tapi cinta tetap membuainya dengan rayuan yang dahsyat.

Cuaca di langit berubah, awan menurunkan gerimis. Orang-orang di taman mulai lengang. Hanya tinggal tiga bangku taman terisi oleh pasangan muda seperti mereka. Gadis semakin tenggelam didekapan lelaki.

Gadis tergagap ketika lelaki menundukkan muka. Kini ia kian berani menempelkan bibir ke kening si gadis perlahan.

“Inilah yang paling aku benci.”

“Maaf,” suara lembut gadis tergagu. Suara itu selembut salju terasa bagi lelaki. Sehinga sangat tiba-tiba kemarahan di dadanya lenyap.

“Malu dilihat orang-orang,” kilahnya lagi.

Sementara bunga-bunga tetap saja tak henti-hentinya berceloteh dan mempergunjingkan sepasang manusia itu.

Ih lugu benar gadis ini! Celetuk Mawar gemertakan. Andai bunga punya tangan, ingin sekali menjambak rambut hitam legam si gadis yang lurus tergerai .

Iya, ugh! Si putih Melati malah ikut-ikutan geram.

Seperti itulah perempuan tak sanggup menepis setiap rasa takut datang menyerangnya. Begitu mudah lelaki menguasai dan menggerayangi perasaannya. Merengkuh hatinya lambat-lambat, namun perempuan gagap menyikapi setiap perkataan lelaki bagai berbius.

“Aku bangga mendapatkan kamu, sayang…,” gombal lelaki lagi.

Gadis begitu terpesona, bergairah dan penuh canda. Gadis menepuk bertubi-tubi dada lelaki dengan kedua tangannya. Manja.

Uda akan meminang dan melamarmu.”

“Sungguh?!”

Lelaki mengangguk senyum. Lesung pipinya muncul di kedua belah pipinya.

Di depan sunset telah lama tenggelam ke dasar laut. Burung-burung tadi bertengger di atas pohon, dekat mereka telah lama pergi. Begitu pun orang-orang telah satu-satu melangkah meninggalkan taman. Pulang ke rumah mereka. Beberapa pasangan muda-mudi mulai mencari jalan lain.

Pandangan bunga-bunga mengabur. Cahaya senja bertukar cahaya lampu taman pudar. Di kejauhan cahaya kota gemerlapan. Karena kelam bunga-bunga kehilangan bahan gunjingan. Karena tak menampak sama sekali apa yang dilakukan mereka kemudian. Hanya yang terdengar suara-suara cakap mereka.

Tiba-tiba dalam remang cahaya lampu taman.

“Selamat ulang tahun,” bisik lelaki hangat di telinga si gadis. Mereka beradu mulut.

Gadis menatap malu-malu seperti pertama sekali ia menerima lelaki itu hadir dalam belahan jiwa terdalamnya.

Sangat tiba-tiba sekali, lelaki menarik jemari kiri gadis dengan lembut dan mengeluarkan sebuah cincin dari dalam kotak imut lalu memasangkan cincin di jari manis si gadis. Cahaya lampu jatuh di permata cincin emas. Berkilauan.

“Dalam cincin inilah kutaruh seluruh cintaku,” jelas si lelaki.

Si gadis menatap cincin terpasang cantik di jari manisnya yang lentik. Jemarinya biasa mengapung di atas tuts-tuts piano.

“Aku bangga sama Uda.

Uda lebih bangga lagi sayang, punya adik secantik kamu,” tangan lelaki berani meremas-remas pipi gadis.

Tiba-tiba lampu listrik padam. Aku kehilangan cahaya. Segala gulita. Tak ada bintang-bintang di angkasa.

Ak…! Terdengar suara pekikan. Suara lelaki tercekik.

Lelaki itu dibunuh?!

Kau dengarlah pekikan itu, bisik Mawar pada rekannya.

Mana?! Mana?!

Bunga-bunga mempertajam pendengaran.

Itu suara rintihan perempuan, jelas Melati tenang.

Bukan. Itu suara pekikan lelaki terbunuh! Bantah Ros.

Lelaki itu terkapar di atasku. Bersimbah darah. Mungkin kepalanya pecah dihujam dengan batu. Lalu terdengar depak langkah gadis bergegas pergi. Langkah orang ketakutan.

Aku mual, ingin muntah!

***

Padang, Maret –Mei 2007

Tidak ada komentar: