Chairil, si Penyair “binatang jalang”
Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namaMu// Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh// cayaMu panas suci// Tuhanku// aku hilang bentuk/ remuk// Tuhanku // aku mengembara di negeri asing// Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling. (Doa, Chairil Anwar)
Meskipun telah tiada, namun si Penyair “binatang jalang” itu tetap hidup bersama sajaknya. Ia menyampaikan sebentuk renungan, bahwa manusia sehebat apapun, sekuat apapun, setegar apapun, tak seseorang pun mampu berpaling dari kekuatan yang Maha Kuasa. Penghambaan ‘aku’ sempurna terlukis dalam sajak “Doa” di atas, dengan sangat tulus dan jujur. Seakan menampakkan kesadaran, Chairil memunajatkan doa kepada Sang Khalik, ia merasakan dirinya tersalah, tersesat di negeri asing, terjebak dalam kehidupannya bebas, petualangan kumuh, morat-marit, kekacauan moral, bahkan kurang ajar. Seperti tak tanggung-tangung Chairil membandingkan dirinya dengan binatang jalang atau binatang buas dan liar. (dalam lirik sajak “Aku”: Debu Campur Deru).
Meskipun dikenal seorang bohemian, Charil seorang pujangga yang keras memagang prinsip, suka bekerja keras, teguh pendidirian, pada pilihan hidupnya. Ketika ia menulis pada lirik penutup sajak “Aku” aku mau hidup seribu tahun lagi, namun di tengah kekerasan prinsipnya, ia sadar ada kekuatan Tuhan yang membuat ia tak mampu berpaling ketika Yang Maha Kuasa itu memanggilnya. Ia dijemput pada tanggal 28 April 1949. meskipun meninggal pada usia yang sangat muda, dalam usia 26 tahun 9 bula ia telah mewariskan karyanya: 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan. Karena sangat berjasa dalam bidang sastra, maka Dewan Kesenian Jakarta memberikan hadiah anugerah sastra kepada sastrawan dan penyair dengan nama Anugerah Sastra Chairil Anwar, telah diterima oleh Moctar Lubis (1992) dan Sutarji Calzoum Bachri (1998).
Puisi merupakan cerminan masyarakat pada zamannya. Sehingga Chairil sebagai penyair angkatan ’45 tidak takut akan sensor yang keras. Ia bebas menyatakan pendapat setelah diproklamirkan kemerdekaan
Ia merasakan ada sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya, budaya lama ia rasakan mengekang dirinya dalam berkarya. Kehidupan bebas telah membentuk ia tegar dan keras pada alasan dianggap benar. Meskipun akhirnya hatinya keras bak batu kembali lunak ketika dalam bermenung ia merasakan ada Tuhan seharusnya ia hambakan, ia anggap paling keras, bahkan ia terlarut dalam dunia asing adalah kehidupan membuat dirinya sering tidak mensyukuri nikmatnya dengan cahaya. Pun dengan segala kekuatan Tuhan ia bisa menjadi seorang penyair yang mulanya ditentang orang-orang, dibenci, namun akhirnya ketika ia telah berpulang dan telah tiada orang-orang merasakan benar bahwa telah banyak yang diberikannya untuk kemerdekaan, untuk revolusi, untuk kehidupan ini, terlebih lagi dalam perjalan sastra Indonesia, ia berhasil menciptakan nilai baru dalan persajakan Indonesia dengan melepaskan diri dari budaya persajakan lama yang terikat dengan aturan baku. Akhrinya ia menciptakan dan menemukan gayanya sendiri sepanjang perjalanannya berkarya. Ia tidak terlalu mementingkan persajakan, bentuk, namun ia telah menciptakan sajak-sajak indah dan penuh nilai.
Emha Ainun Nadjib (1982), mengemukan ada beberapa kontribusi yang telah ditinggalkan si penyair “binatang jalang,” yang ditorehkan dalam sejarah perpuisian Indonesia modern dengan menggebrak gaya perpuisian lama, pertama, pembebasan dari konvensi puisi lama (pujangga baru dan seterusnya), kedua, pembebasan dari tekanan kepentingan propoganda politik, ketiga, perjuangan menegakkan apa yang dinamakan kemerdekaan berkreatifitas.
Sebagai manusia, Chairil bebas menentukan pilihan hidup sendiri seperti halnya orang lain. Semenjak dilahirkan di
Kehidupan pedih, keras dan mungkin ia rasakan sebentar, sehingga ia mengungkapkan, kerja belum selesai, belum apa-apa, (Kerawang-Bekasi) kemudian pada lirik sajak “Aku,” Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Nampaknya ada sebuah kerja besar yang mesti harus diembannya, mungkin juga kita semua. Kerja besar itulah mempertahankan kemerdekaan, mengerjakan pekerjaan, persoalan hidup yang tak kunjung selesai sementara manusia dibawah aturan Tuhan tak bisa berbuat banyak karena kelemahan manusia sebagai makhluk yang serba terbatas.
Setelah Chairil tiada, orang-orang akhirnya menyadari dan merasakan betul bahwa ia masih tetap ada di sekitar kita meski hanya ruh karya-karyanya yang disumbangkan untuk kita semua. Ia memang telah tida namun pada hakikatnya ia tetap hidup, ia memberikan semangat enerjik tentang kehidupan, pelajaran berharga dalam sajak-sajaknya, memberikan kontribusi besar pada kemerdekaan, untuk kesusastraan modern
Kelegendarisan seorang Chairil tak terlepas dari orang lain, bisa itu pembaca yang membuat karyanya terus hidup, para kritikus, paus sastra H.B Jassin yang banyak mengulas karya-karyanya, juga para pakar pencinta sastra
Namun secara khususnya, Agus S. Sardjono, mengungkapkan kehebatan Chairil karena ia menulis sajak bermutu tinggi dan dua hal yang melatarbelakanginya. Pertama, jenis Sastara Mimbar, sastra yang mengandung suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu, seperti revolusi, perang, dan sejenisnya dengan demikian ‘sastra mimbar’ adalah sastra yang tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman. Seperti, puisi “Aku”, “Catetan Tahun 1946”, “Perjanjian dengan Bung Karno”, dan “Kerawang-Bekasi”. Kedua, Charil menciptakan karya jenis ‘Sastra Kamar’, yang menggarap tema-tema keseharian serta berlatar situasi keseharian. Seperti, “Derai-Derai Cemara”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Penghidupan”.
Selain itu hal yang sangat mempengaruhi kekaryaan Chairil adalah kebiasannya yang haus akan bacaan, ia gila membaca sampai-sampai kegilannnya itu ia suka mencuri buku. Tidak saja buku-buku dalam negeri namun juga buku-buku luar negeri seperti Eropa telah disantapnya. Karena suka membaca, ia menguasai tiga bahasa asing, Inggris, Belanda, Jerman. Sehingga ia bisa menikmati karya-karya penulis besar dunia seperti, John Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Rainer Maria Rilke, Willem Elsschot, Edgar du Peron, J. Slauerhoff, Arcibald Mac Leish, W.H Auden, Conrad Aiken, Hsu Chih Mo. Sehingga karena kesentimenan orang-orang terhadapnya ia dianggap telah memplagiat sajak dari penyair terkenal dari Eropa.
***
Tulisan ini telah dimuat Padang Ekspres, Minggu di Bulan Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar