Selasa, 08 Juli 2008

cerpen

Manggis

Tadi sepulang dari surau, saya berpapasan sama Mudin. Ia memberitahu bahwa kemaren sore ia mengambil buah manggis saya satu. Dengan relahati saya anggukkan kepala. Terima kasih…. kalau tidak menjadi haram dalam darah dagingku, katanya semakin menjauh diangkut langkah. Ah! Saya pikir cuma berbasa-basi. Karena kebetulan bertemu, jika tidak, tak akan jadi begitu.

Besoknya, ia kembali berpapasan dengan saya di tempat sama, dengan ucapan maaf sama. Ada terbersit tanya di kepala saya; kenapa ia mengulangi perbuatan yang sama? Dan jatuh di lubang yang sama. Tak habis pikir, ia tak mengambil beberapa buah, kenapa cuma sebuah?. Benar-benar saya tak mengerti. Bahkan diulangi sampai lebih dari tiga kali. Untuk apa olehnya sebuah manggis? Pertanyaan itu terus memburu saya setiap hari. Akhirnya suatu hari saya bertekad untuk mencari tahu. Ia pasti akan mengulangi, mengambil buah manggis di sudut parak belakang rumah saya.

Sore-sore sepulang menyabit rumput di pematang sawah, di bawah lereng belakang rumah. Padi tampak menghijau bak permadani alam maha luas, ada beberapa tumpak padi mulai tabik. Pengintaian ini lahir dari rencana matang. Ia pasti tak tahu bahwa saya tengah mengintai. Matahari sudah rebah ke laut. Cahayanya merah saga. Cericit burung Pipit, Bondo dan Tampuo ribut di lereng bawah rumah. Ia menyeruak tiba-tiba dari balik tebing. Mula-mula terlihat serajut rumput terjujung di atas kepalanya. Dalam rajut rumput terbuat dari daun kelapa yang dijalin. Kemudian nyatalah di mata saya seluruh badannya. Sesampai di bawah batang manggis, diturunkannya rumput dalam rajut perlahan dari kepala. Lalu dipungutnya sebuah galah dari talang – biasa saya gunakan untuk memanen manggis – tersandar di dahan manggis. Memang sengaja saya taruh di situ, setelah tadi siang saya gunakan.

Tampak ia tengadah, matanya mencari-cari buah manggis masak ke sebalik dahan dan rimbun dedaunan manggis. Dikuakkannya dedaunan lebat itu berkali-kali. Lama ia mencari, tak ada ia dapatkan. Tentu saja tak ada manggis, seperti tadi saya katakan, sebelumnya saya sudah memanennya dengan penuh teliti hingga yakin tak ada satu pun manggis masak tertinggal. Gusar dihempaskannya galah bambu begitu saja ke tempat semula. Dinaikkannya rajut berisi rumput ke atas kepala. Lalu berlalu menuju kandang kerbau, tak jauh dari batang manggis.

Kesekian kali saya berpapasan dengannya di tempat yang sama. Ia meluncur begitu saja, tak ada kata relakan, tak pula mengatakan, kemaren saya mengambil manggismu. Tidak sama sekali. Kini pertanyaan itu lahir dari mulut saya sendiri. Maaf kemaren waktu kamu mau menjolok manggis, sebelumnya sudah saya panjat. Oh, tak apa-apa, katanya. Manggis dari parak Jinun yang kuambil, katanya sambil berlalu meninggalkan saya tegak dengan keadaan mulut hampir berbentuk lingkaran.

Saya terheran-heran dengan sebuah manggis yang diambilnya. Saya kenal betul, ia belum punya anak yang akan merengek minta manggis. Pikiran itu kemudian membuat saya tak henti-henti ingin menemukan jawaban. Ketika saya tanyakan prihal sebuah manggis itu, ia menjawab, untuk di makan. Tapi saya masih ragu. Tak masuk akal rasanya.

Akhirnya suatu sore, saya bulatkan hati untuk menemuinya ke lepau uni Lena. Saya pilih duduk di dekatnya di palanta lepau. Tampaknya ia terganjal dengan keberadaan saya. Ia mengenal saya seorang Pakiah surau Lubuak. Biasanya ia akan minta orang lepau menyediakan peralatan untuk bermain koa atau batu domino. Bertaruh mencari segelas teh telur atau sebungkus dji sam soe. Alasan klise mereka bermain judi untuk perintang hari petang, menunggu waktu menyabit rumput tiba, katanya. Telinganya sudah peka kena ceramah saya. Sesama manusia, saya merasa berkewajiban mengingatkannya, apalagi saya kawan konco areknya. Tapi kata-kata saya tak berarti apa-apa. Bak mentimun bungkuk saja. Apalah saya hanya seorang Pakiah. Sekh sekalipun tak akan mereka hiraukan. Kalau seorang berdarah penjudi apa pun bisa diperjudikan. Saya hampir saja jatuh ke meja terlarang itu, untung saja amak dan abak berang-berang. Ia sama halnya seperti preman-preman lain di kampung. Sering saya sindir dalam ceramah. Tapi tak berarti apa-apa. Masuk di telinga kanan, keluar di telinga kiri.

***

Musim manggis sudah lama berlalu. Tak ada satu pun batang manggis berbuah. Hanya tinggal dedaunan rimbun. Namun saya tetap menemukan banyak kulit manggis berserakan di sekitar tempat pembuangan sampah di belakang rumahnya. Saya kira, ia menimbun manggis untuk dijual dengan harga mahal bila habis musim manggis. Ternyata anggapan itu keliru besar, saya perhatikan sehari-hari tak ada ia berjualan manggis di tepi labuah.

Sepulang dari surau, hati saya tergerak untuk bersilaturrahmi ke rumahnya. Saya dengar dari si Sam, Mudin membeli motor vario baru dari menang masang togel empat angka. Saya mau menengok motor barunya. Hitung-hitung memperhangat hubungan tetangga yang mulai dingin setelah amak saya dan amaknya bersengketa gara-gara manggis sepadan. Kemaren sudah saya persiapkan sekantong manggis. Sengaja saya belikan di pasar.

Ramai terdengar suara dari dalam rumah.

“Berapa ulas isi manggis ini?”

“Saya lima.”

“Pak?”

“Enam.”

“Ya, saya enam juga.”

Tanpa lupa membaca salam, saya masuk ke ruangan tamu yang pintunya tidak dikunci. Alangkah terkesimanya mereka (dua lelaki sebayanya, Pak Gaek dan Pak Lepoh) melihat saya secara tiba-tiba tegak berdiri di hadapan mereka. Mata mereka lekat di wajah saya yang sama bingungnya dengan mereka. Beberapa buah manggis masak ada di atas meja beserta setumpuk uang kertas ribuan. Di tangan Mudin sebuah manggis setengah terkupas.

“Kau memata-matai kami?! Atau mau mengasih ceramah?” ledek Mudin. “Usir dia!” kata Pak Lepoh menggelegar. Memecah suasana hening sejenak. Lima pasang mata garang mereka menghujam diri saya dalam keheran-heranan tegak di ambang pintu.

Sebelum mereka mengusir paksa, lebih baik saya pulang. Saya taruh kantong plastik hitam berisi manggis begitu saja di lantai teras. Seraya berlalu membawa rasa heran. Dari kejauhan saya menoleh ke belakang, sempat terlihat Mudin memungut kantong berisi manggis itu. Dibawanya ke dalam sambil ketawa keras. Mereka tergelak-gelak sepertinya mengejek saya. Rasa bangga yang lain lahir dari dirinya atas manggis didapatkannya.

Selamat berpesta manggis…

Saya berharap, manggis pemberian saya bisa dimanfaatkan, dari pada mengeras dan mubazir.

Beberapa hari kemudian saya temukan kulit manggis baru, berserakan di tempat sampahnya di sekitar rumpun pisang Batu. Saya bersyukur ternyata pemberian saya ada dimanfaatkan. Saya rela diperlakukan begitu. Tak perlu menuntut balas, tak perlu ada dendam, tak perlu sakit hati. Bersabar saja. Dinginkan kepala. Istighfar…mungkin esok atau lain kali ia berkata, silakan masuk kawanku…

Pagi-pagi ketika mentari sepenggalahan naik, di atas pucuk kelapa. Mudin bersorak-sorak di halaman menyuruh saya ke luar.

“Anak Surau…! Keluar kau!” soraknya. Saya intip ia dari lubang ventilasi kamar. Ia tegak bersikacak pinggang sambil mengacung-acungkan ladiang berkilat-kilat di terpa mentari.

Salah apa saya?

Hati saya benar-benar kecut. Tak ada nyali untuk menemuinya di luar. Saya tetap bertahan di kamar dan mengunci pintu dengan plang pintu khusus terbuat dari ruyung batang kelapa.

“Keluar kau banci!”

“Cepat keluar…!”

Waktu itu hanya saya di rumah, amak dan abak baru saja berangkat ke sawah orang untuk mencari upah. Menyaksikan itu saya teringat saat kejadian waktu kecil saya berkelahi dengannya, hidungnya berdarah kena tinju saya.

“Gara-gara manggis kau!”

Apa? Manggis saya?

Ia berlagak seperti seekor kucing mengintai tikus ke luar dari sarangnya. Ia akan menerkam jika nampak kepalanya nongol di tepi lobang. Kini rupa tikus itu adalah saya. Ia kucingnya, tengah memangsa.

Lama saya membenamkan tubuh dalam kain sarung. Di atas ranjang kayu. Ada apa dengan manggis saya? Pagi-pagi ia datang marah-marah tak tahu juntrungannya Entahlah…, Pasti ia mengada-ada.

Suaranya tiba-tiba menghilang.

Sebaiknya saya jelaskan kepadanya. Saya buka plang pintu kamar, kemudian pintu ruang tamu. Ketika pintu ternganga lebar, mata saya hanya berhadapan dengan halaman kosong. Yang terlihat hanya kucing mendekati kaki saya sambil mengeong-ngeong. Tapi bukan dirinya, benar-benar seekor binatang yang mengeong.

Masih terngiang-ngiang di telinga saya, suaranya dan kawan-kawannya mengusir saya sore itu. Kemudian pikiran saya berubah memikirkan tentang manggis. Mungkin untuk…. Ya, saya mengangguk-angguk sendiri ketika sebuah jawaban terlintas. Saya rasakan mulut saya tertawa geli.***

Studio satu, Padang Pariaman, 120608.

Ket:

Tabik : butiran padi masih seperti santan

Talang : bambu kecil yang biasa digunakan untuk membuat galah, lemang.

Pakiah : santri di surau tradisional

Koa : danau rejeki, alat untuk bermain judi

Konco arek : teman karib

Labuah : labuh

Ladiang : golok

Tidak ada komentar: