Selasa, 08 Juli 2008

सरिता anak

Saman

Saman seorang bocah kelas lima sekolah dasar di kampung. Dia anak yang nakal, sebenarnya tidak bodoh cuma suka bolos diwaktu jam pelajaran berlangsung. Waktu itu Saman tidak masuk belajar agama karena dia benci sama ibu guru yang mengajarnya karena dia tidak pandai menyanjung Saman, sementata guru-guru yang lain pandai dan selalu menyanjungnya jika dalam belajar, dia senang sekali jika dijadikan percontohan oleh ibu guru, karena itu lubang hidungnya besar. Sebesar terowongan. Kepalanya pun ikut-ikutan besar

Amak dan Abaknya di rumah berkali-kali mengingatkannya untuk tidak bolos. Tapi dasar dia anak nakal padahal di depan kedua orang tuanya dia selalu mengangguk dan mengatakan iya. Dia tak pernah membantah orang tuanya, dia mendengarkan dengan baik, tapi anehnya masuk di telinga kanan keluar di telinga kiri. Dia sangat pandai mengambil muka biar dia tidak kena marah sama abaknya, karena ia jera Abaknya pernah mengurungnya di gudang sehari semalam karena mengambil cemaka orang di ladangnya siang hari bulan puasa.

Abaknya sangat pemarah, badannya barangkali sudah kebal karena dilecut sama ikat pinggang jika dia pernah kedapatan bolos dan main-main ke pasar melihat orang menjual obat padahal orang lagi belajar di kelas.

Saman suka berteman, di sekolah kawan-kawannya banyak dan senang bermain bersamanya. Dia orangnya penolong, baik hati sama kawan-kawannya, tak memilih-milih teman. Tapi satu yang tidak bisa dirubahnya dia tidak jujur dan suka mencuri.

Saat guru matematika masuk kelas dia duduk dengan tenang di bangku depan guru. Tapi setelah pertukaran pelajaran agama dia langsung lari ke koperasi sekolah dan pura-pura ke pustaka untuk baca buku tapi dia tidak singgah di pustaka dia terus menuju koperasi siswa yang berdekatan dengan ruang perpustakaan. Dia makan memesan sepiring lontong dan kemudian setelah makan dia pura-pura permisi dan meninggalkan piring begitu saja. Kemudian lari ke wc seperti seseorang yang kebelet pipis atau berak. Tapi setelah sampai di depan pintu wc dia tak melakukan apa-apa cuma duduk nongkrong dalam wc sampai lonceng dipukul tiga kali, pertanda ke luar main. Dia malah tidak kembali ke koperasi untuk membayar belanjanya namun bermain kelereng bersama teman-temannya di halaman. Dan dia melupakan dengan sengaja bahwa dia dari awal memesan lontong memang tidak akan dibayar karena memang tak ada uang untuk membayarnya. Tapi karena tadi perutnya lapar sekali dia melakukan itu karena terpaksa. Dia sebagai anak yang pintar di kelas tentulah tahu bahwa perbuatannya mencuri adalah perbuatan buruk dan tercela. Dia tahu itu dan pernah belajar untuk jujur terhadap siapapun dan apapun yang akan dilakukan.

Sampai lonceng pulang dibunyikan dia tetap tak mau pergi ke koperasi lagi karena takut ditagih belanja lontongnya. Dia malu memperlihatkan mukanya pada ibu pelayan koperasi. Dia malu karena telah berani mengulangi ke beberpa kalinya dia makan tak bayar di koperasi itu. Tapi tetap dia bisa selamat dan lama-kelamaan pelayan koperasi yang sibuk melayani anak-anak belanja dia kabur tanpa bayar terlebih dulu. Karena dia selalu selamat sehingga dia ketagihan karena perbuatannya tak seorang pun yang tahu kerena dia memang pandai cara mencuri. Kebiasaan dan keterampilan jeleknya itu menjadi biasa baginya dan menjadi kecanduan. Sampai dia perbuat sampai beberapa kali.

Tidak lama lonceng enam kali pun dibunyikan, anak-anak berhamburan keluar dari lokal masing-masing untuk pulang ke rumah. Saman pun mengambil tas ke lokalnya dan melangkah pulang berjalan kaki saja bersama lima orang temannya yang searah dengan rumahnya. Dia melewati pematang sawah, dia terpaksa menjinjing sepatu mereka dan ada yang memasukkan ke dalam tas.

Senjanya ia mengeluh dan memegang-megang perut karena sakit. Dia meringis kesakitan. Mengaduh! Di ranjang ia memutar-mutar tubuhnya karena sakitnya perutnya semakin terasa melilit-lilit. Dia menangis dan minta tolong sama amaknya minta diobati dengan balsem atau mengobatnya dengan bacaan-bacaannya, karena jika dia sakit perut amak bisa mengobatnya dengan cara kuno, menggiling gula, bawang tunggal dan abu rokok dan meletakkan campuran itu yang telah digiling dengan mengasihnya minyak tanah. Karena balsem dan minyak angin tidak mangkus. Abaknya pun sibuk mondar-mandir karena tak tega melihat anaknya resah dengan sakitnya di ranjang. Menengok anaknya guling-guling dan mengucur keringat karena tak sanggup menahan sakit.

“Makan apa di sekolah tadi?” Tanya Amaknya sambil membacanya mantra sambil menempelkan ibu jari tuanya di lubang pusatnya. Namun dia tetap gelisah dan meringis kesakitan, perutnya terasa melilit-lilit dan kepalanya pusing-pusing dan seakan perutnya terasa mual-mual tapi tidak mau muntah-muntah. Amak dan Abaknya semakin resah karena segala cara dan pengobatan yang mereka lakukan tak membawa hasil. Saman tetap saja meraung kesakitan sambil kedua belah tangannya memegang dan meremas-remas perutnya. Dia heran belum pernah dia merasakan sakit perut seperti itu sebelumnya.

Saman diam tak mau mejawab pertanyaan Amaknya. Dia malah berfikir di sekolah tadi siang makan lontong itu pun tidak gulai cempedak. Gulau toco. Mana bisa gulai toco membuat sakit perut. Ah tak mungkin katanya menyimpulkan dalam hati.

“Apa nan makan tadi ?” Ulang Abaknya sambil mendekati Saman dengan rokok di mulutnya.

“Saman cuma makan lontong di sekolah.”

“Mungkin telat makan,” kata Amaknya sambil mengambilkan sepiring nasi untuknya.

Bocah itu masih bingung dengan masalah sakit di perutnya. Sakit perut tidak seperti sakit perut biasanya. Sakit perut yang luar biasa dia rasakan kali itu. Dia belum terpikirkan tentang perbuatannya yang tadi di sekolah bahwa lontong yang disantapnya lalu tidak dia bayar. Tapi masih bingung dengan keanehan lontong itu.

Amaknya pun menyuapi Saman dengan sendok sambel goreng kentang kesukaannya. Baginya saat itu sekali pun ayam kentaki yang disuapkan ke mulutnya tetap tidak terasa enak dan gurihnya karena perutnya tak mau menerima apa pun karena sakit perih yang tak tertanggungkan. Dia menggeleng menerima suapan yang akan disuguhkan Amaknya. Dia tetap tak mau tapi Amaknya tetap memaksa.

“Tambah sakit kalau ndak makan!” bentak amaknya dan ditambah hardik Abaknya yang menggelegar mengecutkan hatinya.

“Biaya rumah sakik ndak murah.”

Saman pun dengan berat hati terpaksa mengangakan mulutnya dan Amak pun menyuapinya. Nyam…sesendok nasi masuk ke mulutnya dia mengunyahnya tapi mual perutnya semakin menjadi-jadi, seakan hendak muntah. Akhirnya dia secara tiba-tiba muntah benaran semua isi perutnya berhamburan keluar termasuk sesendok nasi yang baru dia telan separuhnya. Lontong yang dia makan tadi pagi keluar dengan sambel toconya. Amak menggosok-gosong kuduknya berkali-kali. Sementara Abaknya bergegas ke dapur mencari kain lap bekas muntahnya.

“Pasti mencuri di sikola?! Jawab!”

Ndak, Bak…”

Mengaku!” Abaknya pergi mengambil ikat pinggang ke kamar.

“Ampuuuun bak…!”

Namun Saman terus bersikukuh untuk tidak mau mengaku dan terus menangis. Melihat itu emaknya ikut membela karena tak tega melihat anaknya di lecut ikat pinggang berkali-kali. Tangan dan badannya merah-merah kena lecut. Kemudian karena sakin marahnya abaknya pergi ke luar rumah. Dan akhirnya Emak membujuknya dan terus menanyai Saman dengan lemah lembut.

“Man, makan lontong di sekolah, Mak, tapi...”

“Tapi…apa?!”

“Man ndak dikasih belanja sama abak, jadi...”

“Besok jangan ulangi, minta maaf dan bayar beli lontong itu!

Saman mengangguk sambil bersungut pergi meninggalkan abak dan amaknya yang geleng-geleng kepala.

* * *

Tidak ada komentar: