Sabtu, 14 Juni 2008

BURUNG, POHON, SUNGAI, DAN GADIS-GADIS CANTIK

Cerpen: Zul Afrita

DIMANA sekarang…? Kudapatkan diri terdampar di negeri asing. Tak terlihat manusia. Dalam tatapan keheran-heranan, kuusap muka dengan telapak tangan bergetar, lembab. Memastikan aku dalam keadaan sadar dan bukan sedang bermimpi, berfantasi atau berhalusinasi.

Dari kejauhan terlihat kilauan mutiara. Penglihatan luar biasa!

Kususuri terus hamparan padang pasir maha luas seperti padang mashar. Alam ini masih perawan. Suci. Menurut kutbah ustaz di Masjid di dunia bahwa di padang mashar itu orang-orang ramai bak cendawan dan sama besar semua. Matahari sejengkal dari kepala. Tak ada matahari, dari mana cahaya ini lahir, sejuk sekali angin menghembus. Pakaianku bergoyang.

Berada di alam tanpa nama, tanpa kukenal. Tak ada kapal nelayan di laut. Tak terlihat orang berjualan di sepanjang pantai. Ombaknya masih bersih, bersahabat dan tak ada sampah-sampah di sepanjang pasir pantai.

Kugosok-gosok mata. Tatapan mataku memang begitu adanya. Kuraba kedua telinga, masih seperti telinga di dunia. Kuraba pula mulut, terus hidung, rambut dan semua organ tubuhku, masih seperti tubuhku di alam dunia. Lalu ini alam apa? Tak ada manusia, tak ada orang duduk berdua dipantai. Zaman apa ini?

Dengan kebingungan maha dahsyat kutelusuri terus pantai entah berantah itu sampai ke tepi barat. Tak kutemukan teman-temanku untuk kuajak main bola di pantai, mencari umang-umang, diving, atau bermain ombak. Seperti tak ada kehidupan. Kerongkonganku mengering, kucari kedai menjual minuman tak. Sambil terus berjalan ke barat. Tak kutemukan apa-apa di daratan, Cuma batang-batang kayu dan alam rimba. Lalu memutuskan untuk istirahat sejenak melepaskan penat seharian. Sampai aku tertidur di bawah sebatang pohon rindang. Tidur bersama nyanyian beburungan hutan seperti aku didendangkan ketika kecil oleh ibu.

Terbangun ketika sehelai daun kayu mersik menimpuk puncak hidungku. Kupungut daun itu sambil menggosok-gosok mata. Tanpa sengaja kulihat tulisan di sana, tulisan apa namanya itu. Aku tak tahu. Bukan huruf latin, tulisan China, tulisan Arab. Entah bahasa pohon, bahasa burung atau bahasa hutan. Tulisan itu lebih jelek dari talisan manusia terjelek sekali pun.

“Aku tak bisa membacanya…!” Teriakku. Gema dari kejauhan menyahut dari arah bukit di depanku. Bukit mutiara, aku ingin ke sana.

Tiba-tiba seekor burung berbulu cantik menukik di depanku, terbang dari atas arah kejauhan. Mengepakkan sayap di udara, seperti burung layang-layang. Ia melayang lalu mendarat di depanku. Burung itu mengangguk-aguk sambil memainkan paruhnya di pasir. Menulis sesuatu. Bahasa manusia. Bahasaku. Burung itu mengerti bahasaku?! Ingin bertanya kepadanya tentang keanehan ini.

Ia kembali menulis dengan paruhnya di atas pasir:

Ulangi perkataanmu tadi.

Tulisannya bagus, lebih bagus dari tulisan temanku, Ve.

“Aku tak bisa membacanya….”

Burung berbulu warna-warni itu paham dan mengangguk-angguk. Lalu menuliskan dengan paruhnya lagi: Ve, temanmu ingin bunuh diri…!

Apa?!

Aku terkejut ketika membaca tulisan itu. Ve temanku mau bunuh diri.

“Dimana?”

Ia menulis: ikuti aku…! tapi dengan syarat jangan pernah bertanya.

Ia pun terbang, setinggi tak lebih dari kepalaku. Menyusuri terus ke pantai barat. Lama sekali rasanya aku berjalan bersamanya dengan perasaan cemas dan perasaan bertanya-tanya kenapa dia harus bunuh diri? Tapi aku tak boleh bertanya.

Petang sudah mulai gelap. Malam begitu pekat tak ada cahaya bulan, tak ada cahaya dari daratan. Heran, kemudian sesaat saja ada sorot cahaya seperti senter kecil keluar dari kedua bola mata burung cantik itu, menerangi jalanku.

“Aku boleh bertanya….?”

Burung menggelang.

Aku terus berjalan berjam-jam. Tanpa dialog, tanpa berkata-kata. Kakiku semakin memberat diangkat. Sudah berapa kilo jalan yang kutempuh. Dengan perut lapar. Sejak tadi belum makan apa-apa.

Aku menghentikan langkah dan duduk.

“Aku tak sanggup lagi berjalan.”

Burung itu merendah dan mendarat di pasir dan menuliskan sesuatu dengan paruhnya: bergantunglah di kedua kakiku…

“Ah, mana bisa aku kan lebih besar dari tubuhmu. Pasti sayapmu akan patah, tubuhmu saja selebar telapak tanganku. Kau ini ada-ada saja. Biarlah aku berjalan saja.”

Ia mengerti. Dan terus melanjutkan perjalanan. Aku harus lebih mempercepat langkah kalau terlambat nanti nyawa Ve akan tak tertolong lagi. Ia akan mati. Kini aku harus menemuinya sebelum ia mati bunuh diri. Aku ingin tahu kenapa ia berniat untuk menyudahi nyawanya dengan bunuh diri. Mungkinkah karena tak ada makanan di alam ini, atau tak ada sahabat atau tak ingin lagi berada di alam yang membingungkan ini. Alam serba aneh. Entahlah.

“Aku tak kuat lagi….”

Ia merendah dan memutar sayapnya ke arah belakangku. Kedua kakinya mencengkram krahku dan membawaku terbang. Aku menjadi begitu ringan seperti kapas di udara. Aku menoleh ke atas kulihat burung itu kecil, sekecil tadi, tapi dia bisa menerbangkan berat tubuhku yang lebih dari empat puluh lima kilo. Ah, binatang apa pula ini. Begitu hebat dan menakjubkan, kataku dalam hati.

Ketika aku bertanya, “Kau burung, kan?” Ia mengangguk. Kenapa bisa aku seperti kapas di buatnya, terbang melayang.

Ia menuliskan sejenak di pasir dan menurunkanku perlahan.

Kau memang kapas…

“Kapas…?!

Kau roh tanpa jasad.

“Di dunia beratku 45 kilo.”

Itukan di alam duniamu, ini beda

“Ini alam apa?”

Ia diam tak menjawab tapi menuliskan kata-kata di pasir dengan bantuan penerangan cahaya putih terang dari kedua bola matanya. Aku diutus Tuhan untuk menyelamatkanmu dan temanmu.

“Tuhan kita sama?”

Ia mengangguk.

“Kenapa kau datang menyelamatkan kami berdua?”

Perintah Tuhan…

“Ini alam apa?”

Ia menggeleng dan menulis lagi di pasir: jangan pernah tanyakan pertanyaan itu lagi. Ia mengancamku. Ia berang.

“Masih berapa jauh lagi.”

Sekejap matamu lagi.

“Secepat itu kah?”

Aku kemudian melakukan apa yang diperintahkan binatang luar biasa itu. Mengejap sekejap lalu kubuka. Kulihat Ve sedang menyorongkan akar kayu yang tergantung dari atas pohon ke lehernya.

“Berhenti…!” Teriakku. Ve terkejut dan menoleh ke arahku di sisi sorotan mata burung.

“Mengapa kau mau bunuh diri?”

“Aku tak punya siapa-siapa di sini…”

“Ini bukan dunia, ini alam lain.”

“Maksudmu…?”

“Entahlah aku sendiri bingung kenapa kita terdampar di alam entah berantah ini. Kau punya senter. Pinjam aku, hpku tadi terjatuh di sini. Ve mengira aku membawa senter padahal cahaya itu sorot mata burung. Kalau sempat ia melihat burung ini pastilah ia akan pingsan benaran dan tak akan percaya seperti aku pertama sekali terkesima melihat kehebatan binatang ini.

“Kau pasti mimpi, mana ada sinyal di sini.”

“Ini dimana namanya…”

Burung itu marah dan dan menutup matanya sehingga kegelapan. Tak ada cahaya langit sedikit pun. Aku dan Ve hidup dalam kelam dan kami berdekatan dan mencoba memicingkan mata serentak dan sekejap kami membuka mata. Terang. Cahaya terang tapi tak panas seperti di atas dunia seperti tadi kubilang. Cahaya itu entah datang dari mana, dari timurkah seperti matahari di dunia. Kepada siapa aku akan bertanya tentang alam ini. Aku tak mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di kepalaku.

Burung itu telah pergi. Kini tinggal kami berdua dan pohon-pohon kayu.

“Kau lapar Ve…”

Ve mengangkat alis.

“Aku sudah lama tak makan-makan. Sejak terdampar di padang ini.”

“Bagaimana ceritanya kau sampai terdampar di sini?”

“Tak tahu.”

Kami terdiam.

“Aku ingin sekali buah apel di pagi ini…” kata Ve kepadaku.

“Apel? Mana ada….”

Ve menghela nafas.

Kami berdua duduk di bawah sebatang pohon rindang. Entah apa namanya pohon itu, pohon belum pernah kulihat di dunia. Uratnya tumbuh di atas tanah, tergantung dan daun-daunnya muda semua dan tak ada daun tua. Aku menghitung tiap dahannya ada tujuh puluh tangkai daun. Sungguh pohon yang aneh!

“Pohon apa i….?”

Eps…aku menutup mulutku dengan jari. Pertanyaan itu tak boleh dikeluarkan karena ini perintah dari sang burung.

Memicingkan mata sekejap adalah cara bagaimana untuk bisa mewujudkan impian. Kami memejamkan mata serentak dalam hitungan ketiga kami sama-sama membuka dan mendongakkan kepala ke atas. Kami melihat buah apel bergelantungan dari dahan-dahannya. Ve terlonjak dan langsung memanjat pohon itu dan memakan apel sepuasnya. Bak anak terlantar, kami mengunyah buah apel segar-segar itu. Apel berwana seperti anggur. Kecil-kecil dan dingin sekali di mulut seperti dalam kulkas.

“Apel apa ini, enak sekali?”

Ve terlanjur mengucapkan kata larangan itu. Aku lupa menutup mulutnya dengan telunjukku. Kareana ia berada di dahan yang jauh dariku. Tiba-tiba buah itu lenyap. Seperti menghilangnya burung tadi malam.

Ve tercengang. Aku menatap dia dengan perasaan gusar karena aku belum menghabiskan sebiji saja dari buah apel itu. Ve harus kuberitahu kabar burung itu.

“Kau tahu kenapa buah pohon ini lenyap…”

Ve menggeleng.

“Karena kau melanggar larangan.”

“Larangan?! Larangan apa…?”

“Di sini tak boleh bertanya tentang sesuatu yang aneh.”

Mulut Ve membentuk huruf O.

Kemudian kami berdua terus melakukan perjalanan menembus hutan yang indah dan sungai yang jernih. Kami ingin mandi di sana. Kami langsung mencebur dan menikmati sejuknya air madu itu. Wangi.

Di hulu ada beberapa gadis cantik sedang mandi. Kami terkejut. Kenapa ada gadis-gadis sebaya semua sama cantiknya. Dengan pakaian mandi yang sopan. Pakaian mereka dari sutra. Aku tahu bahan itu. Aku seorang pedagang bahan-bahan kain di pasar raya. Mereka mendekati kami perlahan. Dan membawa kami ke rumahnya. Tujuh gadis cantik itu menjamu kami dengan makanan yang enak-enak, kolak campur, tapi rasanya berkali lipat rasa di dunia. Berpuluh kali lipat rasanya dari kolak buatan ibu bulan puasa dulu.

“Gadis-gadis cantik itu mengurut kakiku dan menciumi pipiku dengan sangat lembut. aku pun membalas ciuman itu dengan hangat. Satu persatu. Para gadis perawan itu tersenyum senang. Ketawanya, ya ampun…! Aku tak tahan. Belum pernah aku melihat senyum gadis di dunia semanis itu. Belum pernah kutemukan ada gadis manis, cantik, baik hati lagi. Gadis maha sempurna. Aku ingin menjadi istrinya.

“Alam apa ini…”

Tak sengaja mulutku mengucapkan kata pantangan itu. Gadis-gadis itu pun lenyap. Ve tercengang. Tajam matanya menusuk mukaku.

“Kau melanggar pantangan itu?”

“Tidak…” Aku pura-pura…

“Terus kemana gadis-gadis…”

Aku manyun.

“Aku ingin keluar saja dari sini.”

“Aku juga.”

“Tapi bagaimana…?”

“Seperti tadi, memejamkan mata.”

“Mari kita sama-sama memejamkan mata, satu…, dua…, tiga….”

Aku terkaget, aku mendapatkan diriku tengah tafakur di atas hamparan sajadah. Dengan tangan menggenggam biji-biji tasbih.

***

Padang, 01.20 Januari 2007

Tidak ada komentar: