Selasa, 08 Juli 2008

kritik

KLIMAKS DEMO: PESTA (NARSIS) INTELEKTUAL

Ketika suara, teriak, umpatan tak lagi berdengar. Maka mahasiswa yang dibesarkan di negri ini upaya intelektual sudah menyerah pada tindakan preman”. Budaya demo brutal, anarkisme, menghujat, cemooh, dan bahkan sampai berdarah-darah pula, mendekam di RS. tidak sebuah fenomena asing. Dari tahun 66 sudah ada. Namun heran bila suara-sura pendemo itu tak lagi berdengar kepada orang yang dimaksud. Di sini perlu kita kaji lebih lanjut secara bersama-sama. Mengapa orang-orang intelektual (pendemo; mahasiswa) berbuat di luar batas keintelektualan? Tentu saja alasan bagi mereka dapat kita tangkap ketika aspirasi suara mereka tak beradengar, tak dianggap sebagai solusi, hanya tameng penghambat, atau bahkan lebih narsi pengacau di tanah air ini. Buktinya tetap saja, bapak negeri ini memutuskan kebijakan, menaikkan BBM bulan Juni lalu, sebentar lagi juga meroketkan harga gas elpiji. Wah! Wah! Semakin jaya saja Negara kaya yang miskin ini.

Sebuah kebrutalan tetap saja tak membawa nasib keberuntungan ke pihak pendemo. Mereka mungkin telah hamper putus tali suaranya berteriak-teriak sebagai orator, memimpin demo, memancing amarah dan emosi dari pendemo. Tapi tetap saja orang tuan rumah memandang sebagai nyanyian musim lengang, suara-suara campreng, pengemis meminta-minta dengan tangan terluka, kepala retak, bibir pecah. Alat Negara bertindak, dihadang di halaman pintu rumah. Rumah itu berisi orang-orang dari wakilnya sendiri. Tak diizinkan masuk sebagai tamu asing, orang maling atau mata-mata, pembuat sial di tengah rumah. Mungkin hanya pikiran salah sangka saja. bukankah salah duga tak baik, dan lebih tak baik jika sang tamu berduyun-duyun dating, agak beberapa perwakilan saja tak diizinkan masuk menemui tuan rumah. Menyampaikan kabar dan uneg-uneg. Ada yang dipersilahkan masuk, beberapa saja bertemu dengan empu rumah tapi hanya sekedar kabar berita tak perlu diambil.

Barangkali tuan rumah telah terjepit lidahnya di kaki kursi, atau tercekik lehernya oleh sesuatu yang menyenangkan. Tergiling roda. Mereka bingung, kalap, terbawa amarah, kemudian ada alat. Tak perlu takut, cemas, kuatir di depan rumah ada pengawal, penjagaan yang ketat dari aparatur rumah tangga itu. bertameng, bersenjata lengkap, helm penutup kepala, senjata gas airmata. Tembakan. Untuk menghentikan ‘kejahatan’ para tamu tak diundang itu.

Kepada siapa rakyat berlindung, kepada wakil-wakil yang tak lagi mendengarkan aspirasi, tak memihak, tak bertelah kasih, tak ada. Semuanya bingun, mati rasa, emosi membakar, kejahatan meraja, pendemo dicekal, mahasiswa dihujat, dipertanyakan, diragukan, semua kehilangan tempat berpegang, tempat bergayut putus, tempat berdiri terban, semua gamang. Sampai rumah tangga ini juga tak lebih gamang.

Kita kemudian saling bertengkar, berjatuhan korban di RS, bakuhantam, lemparan senjata, batu, bilah, kayu, benda apa saja, kena kepala, kepala bocor, pecah, berjahit lima belas, ada pula mati terinjak, gas airmata menusuk tubuh, hati bercarut-carut. Suara teriakan dihentikan, mulut dibekam, disumbat dengan peluru. Akhirnya muncul slogan dari rumah tangga itu, “Anjing menyalak, kafilah tetap saja mengakak,” orang-orang bijak menang, peraturan tetap. Tak goyang seperti batu karang di lautan. Tegar. Disinilah puncaknya, di sinilah akar masalah itu, di sinilah kebencian itu menyeruak, di sinilah kita tak dianggap, di sinilah awal malapetaka besar, di sinilah awal bencana melanda rumah tangga ini. Amarah kian bergejolak disulut orang-orang dari lini belakang, meledak-ledak, terjadilah perang di jalan-jalan antara saudara, ban dibakar-bakar, potret tuan rumah, jalan di tutup, pagar-pagar penghambat masuk dirubuhkan, tiang-tiang dihancurkan, mobil patroli dihancurkan, kaca-kaca yang bisa dimusnahkan. Tak ada rasa yang meraja adalah amarah setan itu. kebencian itu.

Inilah rumah tangga benar-benar larak. Teman-teman mengoceh, tuan rumah beriul, anak-anak negeri mengamen, di rumah RS mereka bermimpi, di kampung orang tua geleng-geleng kepala, di rumah-rumah kardus orang-orang papa merintih lebih keras. Memekik ke alam lengang, tak ada yang mendengar. Demo seperti kehabisan bisa. Kata-kata telah tak bijak bicara, tuan rumah tetap saja bercerita. Tentang dongeng di tengah rumah, berkisah tentang si malinkundang. ***